with Yuliana Firman

Rabu, 31 Januari 2018

Naif

Peluru dari meriamku tak jua bersua dengan jantungmu, mungkin karena niatku memang bukan untuk mematikanmu, tapi membumi hanguskan sekutumu-

ballzmag.com

Semoga saya menulis ini dalam keadaan tidak sadar, sehingga setiap hal yang seharusnya tidak tersampaikan dapat tersampaikan tanpa menjadi beban bagi siapapun, terutama untuk diri sendiri yang entah sudah berapa lama frustasi dengan topik yang serupa.
Postingan kali ini cuma diniatkan untuk curhat..

Untuk ukuran manusia yang tidak begitu suka dengan keramaian, saya tidak akan protes jika dicap sebagai manusia yang kurang piknik. Tapi sesungguhnya julukan yang paling pas adalah manusia yang biasa saja, hanya sedikit takut dengan perang. Kata perang pertama kali saya konsumsi saat masih di bangku Sekolah Dasar, tapi waktu itu belum memberikan pengaruh apapun pada diri seorang anak yang masih senang bermain boneka panda dibandingkan membaca tulisan yang tidak banyak gambarnya. Baru ketika menginjak bangku SMP, saya mulai risih dengan kata “perang” ini, apalagi ketika pelajaran IPS berlangsung, bapak guru menjelaskan tentang Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2, sebab terjadinya, proses terjadinya, sampai akibat adanya perang antar-negara tersebut. Bulu kuduk saya merinding, hari-hari saya lalui dengan penuh ketakutan akan munculnya Perang Dunia Ketiga. Namun, karena tidak ada yang sepemikiran dengan saya waktu itu, kegelisahan saya akhirnya mereda, hanya muncul ketika berjumpa dengan hal-hal berbau perang, misalnya bunyi petasan yang menyerupai bunyi bazoka waktu perayaan tahun baru di kampung.

Memasuki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi di Sekolah Menengah Atas, definisi Perang ini, dibahas lebih jelas pada Bidang Studi Sejarah, ternyata perang tidak hanya sebatas perang dunia tetapi juga terjadi pada zaman dahulu, dari Perang di zaman Rasulullah SAW, perang salib, perang Napoleon, sampai perang yang terjadi di abad 21 dan berbagai perang yang mewarnai sejarah umat manusia. Belum lagi informasi yang saya dapat ditambah dengan film-film bernuansa Perang yang beredar dari satu flashdisk ke flashdisk yang lain sampai ke Laptop saya dan akhirnya bisa saya tonton. Satu hal yang bisa saya simpulkan waktu itu adalah bahwa : perang benar-benar adalah hal yang sangat mengerikan.

Memasuki dunia kampus, dengan pemikiran yang tidak lagi senaif siswa SMA, akhirnya saya menyadari bahwa Perang ternyata bukanlah hal yang bisa terjadi begitu saja tanpa ada hal-hal yang mendahuluinya. Perang hanya terjadi ketika ada perselisihan, konflik, amarah, keserakahan, perebutan kekuasaan, dan lain lain. Untuk pertama kalinya, saya bersyukur Indonesia tidak berada pada deretan Negara Maju di dunia yang selalu haus akan kekuasaan tertinggi. tapi di sisi lain, saya justru khawatir dengan kondisi internal NKRI, ada saja permasalahan yang memicu konflik di Ibu Pertiwi. Inilah alasan kenapa tulisan di Postingan Blog ini selalu mewanti-wanti agar tidak ada perpecahan diantara kita, Rakyat Indonesia.

Iya, karena Author blog ini tidak suka setiap hal yang memicu munculnya Peperangan. Entah itu perang dingin ataupun yang angkat senjata. Keduanya hal yang tidak bisa dibenarkan.

Kemudian, yang tidak henti-hentinya mengiris hati adalah pertentangan atau mungkin lebih tepat jika dikatakan penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina, Muslim Rohingya, dan negara-negara yang sering muncul di pemberitaan tidak lain adalah akibat dari keserakahan Manusia.

Sekian.

Author blog ini memang aneh, ketika mahasiswa lain sibuk menurunkan UKT dan melawan birokrasi, dia malah berimajinasi dengan “Perang” nya. Meskipun dia juga merasakan sulitnya membayar uang kuliah di awal semester (kebetulan masuk dalam kelompok dengan pembayaran UKT yang cukup banyak dan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi orang tua sehingga juga merasa dipersulit belajar di bangku perkuliahan tapi semoga tidak sampai cuti semester) ditambah lagi dengan  Permenristek dikti No.39 tahun 2017 pasal 7 yang di dalamnya tercantum aturan bahwa PTN tidak menanggung biaya KKN, tapi mau bagaimana lagi, mereka punya Peraturannya dan saya tidak punya cukup amunisi untuk memberontak, jadilah saya berimajinasi.

Author blog ini juga tidak menerima intervensi dari pihak manapun, karena dari awal memang tidak bergabung di gerakan mahasiswa manapun juga di kepentingan kelompok manapun, jadi saya bebas menulis, bebas meletakkan tanggung jawab dimanapun. Termasuk di wilayah mencegah terjadinya perang dengan tulisan. Kita punya tanggung jawab kita masing-masing, bukan?

Sedikit kutipan dari Albert Camus untuk menutup tulisan ini :


“Aku telah membuktikan bahwa siapapun, tanpa berlatih sebelumnya, jika dia menggunakan pikirannya, dapat memainkan perannya yang absurd menuju kesempurnaan”
Read More

Jumat, 26 Januari 2018

Paradoks

Banyak yang ingin kukisahkan perihal bekas hujan di lampu jalanan, tapi kau hanya diam, berdiri di persimpangan jalan dan bimbang-

Hype - IDN Times

Sepertinya ungkapan “Tak Kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” adalah sebuah ungkapan mainstream yang sering diungkapkan seseorang ketika pertama kali bertemu dengan seseorang atau sekelompok orang. Ungkapan ini sangat sering saya dengar ketika pertama kali jadi mahasiswa, tentu saja diungkapkan oleh dosen yang membuka kuliah perdananya. Mahasiswa mana mau menggunakan ungkapan lawas itu untuk berkenalan, alih-alih basa-basi pakai kata-kata bijak, mereka lebih suka straight to the point dengan minta kontak Whatsapp. True?

Tapi ungkapan itu kalau ditelaah lebih jauh memang ada benarnya. Mana mungkin kita ingin mencintai suatu hal tanpa pernah mengenal sebelumnya? Sudah kenal saja belum tentu cinta, apalagi tidak sama sekali. Ya kan?

Dari ungkapan itu juga, saya menyadari bahwa kenapa di postingan sebelumnya ketika pembahasannya mengarah kepada dunia politik, banyak yang menganggap saya bercita-cita jadi politisi. Sungguh saya heran, bahkan berulang kali introkspeksi diri. Saya salah nulis apa gimana ini? Salah ya, kalau berusaha mempelajari ilmu yang satu ini?

Ternyata, realitanya memang banyak orang yang menganggap bahwa pembicaraan seputar politik itu “tabu”. Sungguh hal itu dapat dimaklumi, karena mungkin mereka berlum terlalu mengenal politik itu sendiri. Jangan sampai ketika berbicara politik yang terlintas di benak kita ini hanya koruptor. Nggak! Tidak sesederhana itu.

Entah siapa yang harus disalahkan ketika persepsi semacam itu timbul di kepala masyarakat. Karena pada realitanya, kita semua pasti mengalaminya sendiri dimana selama 12 tahun kita sekolah, pernah tidak diajarkan seputar politik secara intens? Paling hanya di wilayah ilmu-ilmu sosial, itupun hanya di wilayah Pendidikan Kewarganegaraan yang kalau saya ingat-ingat, berputar di wilayah mematuhi tata tertib, cinta tanah air, hafal pancasila, dan lain sebagainya. Tidak ada seingat saya yang berbau pendidikan politik. Kurikulum Pendidikan di Indonesia ternyata memang tidak terlalu memberi perhatian lebih terhadap pengetahuan yang satu ini.

Lalu, pada saat berumur 17 tahun tanpa memiliki dasar-dasar pendidikan politik, dimana pada usia ini kita sudah dituntut untuk menggunakan hak pilih atau hak politik sebagai warga negara misalnya pada pesta demokrasi. Lantas, apa kemudian bekal kita untuk memilih wakil rakyat? Apa yang menjadi pertimbangan kita untuk memilih si A atau si B? Berbekal doktrin dari orang tua kita yang pada dasarnya hanya memilih karena diberi janji-janji manis atau berupa barang semacam sarung  atau kaos partai? Mau jadi pemilih berbekal sogokan macam itu? mau memberi kekuasaan kepada orang-orang yang terpilih dari hasil kampanye hitam macam itu?

Hal ironis semacam itu dijumpai pada generasi muda. Tidak ketinggalan, mahasiswa juga demikian. Kalau bukan mahasiswa jurusan ilmu Politik, mana ada mata kuliah yang berbau pendidikan politik? Belum lagi wacana yang mengatakan bahwa Dunia Kampus itu tidak boleh dibumbui dengan Politik. Hal ini cukup aneh, Anda yakin, di kampus itu benar-benar tidak ada unsur politik? Apa salahnya mempelajari seputar politik yang bebas dari identitas, partai, atau tokoh tertentu. Justru kampus memang wadahnya mahasiswa untuk berpikir aktif dalam berbagai hal tanpa harus dibatasi.

Kalau secara sederhananya Politik itu semacam kegiatan atau interaksi antara rakyat dengan pemerintah  dalam proses menentukan tujuan, baik dalam proses pembuatan keputusan maupun pelaksanaan keputusan dan bersifat mengikat dalam suatu wilayah tertentu.

Nah, pengertian politik jelas mencakup pemerintah dan rakyat, sehingga rakyat juga punya hak untuk turut serta berperan aktif dalam dunia perpolitikan. Sampai saat ini, Pemahaman masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang dibodoh-bodohi atau diberikan janji–janji manis yang pada kenyataannya atau penerapannya tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan ketika sudah berhasil meraih kekuasaan.

Bagaimana, sudah dapat Paradoks nya?

Jadi sudah jelas kan, kalau postingan sebelumnya itu bahas masalah politik, bukan berarti author blog ini ingin bergabung ke Partai Politik tertentu atau ingin jadi wakil rakyat. Bukaaan!! Saya tidak punya cukup mahar (hahahaha). Author hanya ingin kenal, agar nantinya ketika dihadapkan pada isu politik, author tidak sekedar gigit jari.

Postingan kali ini lebih kepada mengkritik, entah itu kurikulum di Indonesia yang kurang memberikan Edukasi seputar Politik kepada masyarakat sehingga Politik menjadi hal yang “tabu” dibicarakan oleh masyarakat atau bahkan kritikan kepada diri sendiri yang sampai saat ini masih awam dan hanya mendapat edukasi seputar politik di media sosial atau buku-buku, sehingga masih terkesan apatis atau bahkan skeptis terhadap isu-isu politik di Negara tercinta ini.



Hidup KPK!


Read More

Rabu, 17 Januari 2018

Defensif

-Harapan yang kau bungkus rapi harus mampu kau makamkan dengan tega berkali-kali, karena setiap hal yang terbang tinggi tanpa pernah kau perhitungkan matang-matang, akan berakhir pada kematian-

Prelo
Waktu itu terus berjalan tanpa sedikitpun ingin tahu siap atau tidaknya kamu melaluinya. Ia terletak dimanapun kamu berkenan meletakkannya. Jika di  masa lalu, ia membawamu kesana, jika di masa depan juga dengan senang hati akan membawamu kesana. Tapi kedua masa itu tidak lain hanya angan-angan. Hanya pada masa sekarang, waktu membawamu dengan nyata. Ia terletak tepat disisimu. Semua terletak pada dirimu, ingin menjadikannya teman dalam perjalananmu atau memaksanya meninggalkanmu.

Hanya bersama orang-orang tabah ia tak menghianati. Jika yang kau ungkit dengannya hanya kelamnya masa lalumu, ia tak segan-segan menguburmu disana. Waktu benci diajak bernostalgia. Apalagi bersama kenangan-kenangan buruk yang pernah kau torehkan. Pikirmu hanya kau yang trauma? Ia juga merasakannya. Ia berada tepat di sisimu saat itu.

Lalu kenangan indah yang katamu sulit untuk kau ajak berdamai. Waktu menghargai itu, tidak sedikitpun ia ingin menghapusnya dari kronoligis kehidupanmu. Meski dengan hipokritnya kamu berkata ingin lupa ingatan. Waktu tahu betul besarnya kebohongan yang tersirat dalam kata-katamu itu. hanya mulutmu yang membenarkan. Tidak sedikitpun jiwa dan ragamu ingin beranjak kala bahagia menyelimuti pikiranmu. Pikirmu hanya kau yang gembira? Waktu paham kapan ia harus memberimu fatamorgana. Seakan-akan ia berjalan cepat semerntara tak sedetikpun ia mempercepat lajunya.

Kamu tidak tahu betapa tersanjungnya ia kala kau mempercayakan padanya tentang luka yang katamu akan hilang seiring berjalannya ia. Tanpa sadar kamu telah meyakinkan detiknya bahwa minggu, bulan, tahun, bahkan abadnya begitu berarti. Setidaknya untuk luka dari seorang yang cengeng sepertimu.

Lalu tentang manusia-manusia berpakaian rapi yang menganggapnya uang. Time is money . ia merasa jijik mendengar namanya disetarakan dengan benda yang hampir-hampir menjadi berhala bagi sebagian manusia. Pahamilah bahwa ia jauh lebih berharga daripada uang-uang yang kau kejar kemudian kau hamburkan setiap harinya. Ia jauh lebih suci dibandingkan uang-uang yang diserah terimakan kepada tangan-tangan kotor yang entah bekas berbuat apa.

Lebih dari pada itu, ia paling muak dengan curahan hati remaja-remaja masa kini yang mengaku generasi millenial tapi yang mereka galaukan hanya perihal kisah percintaan mereka yang entah sudah berapa babak, belum lagi mereka yang bermental selebriti, selalu ingin menjadi tenar seakan-akan setiap hal yang ia kerjakan harus menjadi konsumsi publik, suatu saat mungkin kata ‘privasi’ akan dihapus dari kamus, juga mereka yang bermental korban, selalu menganggap dirinya yang paling menderita diantara semua manusia yang ada di bumi padahal sebagian besar kebutuhannya terpenuhi kecuali mungkin otak yang tidak bisa ia gunakan dengan baik. Waktu merasa dibuang percuma. Berkat remaja-remaja kekinian itu, ia selalu merasakan sakitnya di sia-siakan bahkan ketika ia tidak mempunyai hati sekalipun.

Untuk kesekian kali, ia lagi-lagi berada pada ramalan sesat manusia bahwa sebentar lagi ia akan berakhir. Tapi nyatanya tak juga ia diakhirkan, ia tidak lagi ingin percaya dengan prediksi manusia tentang kapan ia akan benar-benar bertemu dengan ujungnya. Karena ia sendiri tidak pernah diberitahu oleh yang pertama kali memberinya tanggung jawab hadir di sisi manusia. Yang dia tahu hanya terus hadir di tempat ia seharusnya berada dan menjadi saksi atas setiap ulah manusia, ikut berbahagia, ikut bersedih, bahkan ikut dalam setiap hal-hal yang menurutnya kotor untuk dikerjakan oleh mahluk yang disebut manusia.

Yang ia tahu, ia harus pandai bersikap defensif, terus menerus berusaha bertahan dengan segala perlakuan yang ia terima tanpa bisa protes karena memang ia tak dikaruniai mulut, berbeda dengan manusia di luar sana yang meski punya bagian lengkap di tubuhnya, mereka memilih apatis dengan ketidakadilan.



Sedikit sarkasme di waktu libur yang terasa amat panjang~
Read More

Senin, 15 Januari 2018

Tahun Pemanasan

Menulis saja! Sampai hembusan nafasmu mampu Kau jadikan diksi-

Halo 2018 !

Tahun ini banyak sekali yang membicarakan tentang hal-hal panas yang sungguh mengherankan mengingat kenyataan bahwa awal tahun ini banyak diisi dengan guyuran hujan yang seharusnya menyejukkan. Lalu bagian mana yang panas?

Panas tahun ini ternyata tidak lagi didefinisikan sebagai suatu cuaca atau musim. Tapi lebih kepada kondisi politik di Indonesia. Berulang-ulang disebutkan di berbagai media, katanya 2018 adalah Tahun Politik atau ada yang menyebutnya dengan Pesta Demokrasi. Kalau menengok sejarah, demokrasi Indonesia pernah dilumpuhkan mulai pertengahan 1959 sampai dengan tahun 1998, mengalami masa jeda sebentar antara tahun 1966-1967. Kemudian masa Orde Baru tumbang pada akhir 1998, Indonesia memasuki era reformasi, terbukalah lagi gerbang demokrasi yang dikomandoi oleh Presiden BJ Habibie.

Tahun ini lagi-lagi pesta Demokrasi digelar. Tapi 2018 ini tentu baru merupakan pemanasan. Demokrasi yang paling dinanti oleh rakyat adalah tahun 2019, dimana yang bersaing adalah calon Pemimpin rakyat di seluruh wilayah Indonesia. Bagaimana kondisi pesta demokrasi kali ini? Apakah bisa menjadi wujud perbaikan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia atau malah sebaliknya?
Melihat dari banyaknya persepsi dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa tahun politik itu panas, sepertinya benar adanya. Belum dimulai saja sudah banyak sekali ingar bingar yang ditampilkan lewat berbagai media. Butuh penalaran yang mendalam agar keingar-bingaran itu tidak membawa kepada hal-hal yang buruk.

Untuk berkompetisi di kancah perpolitikan banyak sekali cara-cara yang dilakukan oleh kaum politik antarpartai atau antarelit. Persaingan menjadi hal yang tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi tapi juga terang-terangan. Mereka bahkan terkesan menghalalkan segala cara untuk mencapai kursi yang sejatinya memang diperebutkan berbagai pihak (iyalah, namanya juga politik).

Namun, ada satu hal yang cukup unik yang bisa dikatakan juga cukup berbahaya. Kaitannya dengan sebuah teori politik dari Amerika “Overton Window” atau jendela overton, Sebuah konsep dalam teori politik yang dikembangkan oleh Joseph P. Overton yang menunjukkan bahwa ada "jendela" gagasan dan usulan kebijakan yang dapat diterima dalam wacana publik. Segala sesuatu di dalam jendela itu normal dan diharapkan, sementara segala sesuatu di luar jendela bersifat radikal, konyol, atau tidak terpikirkan. 
Hype - IDN Times

Mengapa berbahaya? Karena menurut teori ini sejatinya persepsi publik bisa digeser kesana kemari. Dari hal yang tidak normal, menjadi suatu hal yang normal ataupun sebaliknya, dapat diterima di masyarakat. Dalam menggeser persepsi masyarakat akan suatu kebijakan, ada aktor memegang peran yang cukup krusial. Bayangkan jika hal itu berlaku di perpolitikan di Indonesia.

Jendela Overton ini misalnya bisa dilihat dimainkan oleh Donald Trump, presiden Amerika Serikat. Siapa yang menyangka kalau orang dengan berbagai pemikiran Ekstrimnya itu bisa menjadi Presiden di Negara besar seperti Amerika? Karena ia mampu menggeser persepsi warganya lewat berbagai media.

Hal ini tidak menutup kemungkinan juga bisa terjadi di Indonesia. Hal-hal yang tidak sesuai dengan norma di Indonesia bukan tidak mungkin bisa menjadi hal yang diwajarkan atau bahkan menjadi suatu kebijakan. Jika digaungkan secara terus menerus dan dibumbui dengan hal-hal yang logis.

Persepsi kita, kalian ternyata bisa diubah! Teori Overton Window ini bisa menjelaskan bagaimana kaum-kaum yang memiliki kepentingan di dunia politik atau sebut saja mereka politisi bisa merubah persepsi masyarakat, bukan tentang benar atau tidak, tetapi tentang normal dan tidak normal. Jadi, sebagai masyarakat seharusnya kita paham ketika persepsi kita ini sedang digeser. Cepat-cepat bangun! Janga terbawa suasana. Apalagi, sarana yang digunakan politisi itu sangat mudah diakses oleh masyarakat. Contoh yang paling sering kita ajak bercengkrama : Media. Isu-isu yang diangkat di berbagai media jangan langsung dilahap secara mentah. Pertimbangkan secara matang-matang, normalkah isu tersebut? Sesuaikah dengan masyarakat Indonesia? Jangan mentang-mentang hal yang disuguhkan itu logis, kemudian langsung diterima begitu saja. Analisis secara kritis dan mendalam. Apalagi, yang kita hadapi ini tahun Politik, yang menentukan siapa yang nantinya akan memimpin wilayah bahkan negara kita.

Teori ini mungkin tidak begitu terkenal, tetapi bagi teman-teman yang memang mendalami Ilmu Politik seperti mahasiswa jurusan Ilmu Politik pasti sudah tidak asing. Author masih pada tahap belajar dan hanya mahasiswa Ilmu Pendidikan, jadi silahkan browsing atau cari literatur yang berkaitan dengan overton Window ini, semoga bisa menambah wawasan teman-teman sekalian.
Intinya, mari kita jaga Indonesia kita ini, apapun yang kita hadapi. Berbagai provokasi pasti akan muncul di permukaan, tapi tetap ingat bahwa, perpecahan bukan hasil yang kita inginkan bersama. Tetap bersatu!



Hidup KPK !
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates