with Yuliana Firman

Minggu, 22 Mei 2016

Satu Kata Sembilan Huruf

Halo!
Ada satu kata dan sembilan huruf yang membuat saya selalu jatuh cinta. bagaimana tidak, keindahannya membuat setiap orang berdecak kagum : INDONESIA. Membayangkannya saja sudah menimbulkan afeksi yang berlebihan hingga membuat lupa akan kehadiran mortalitas. Bukan hanya tentang indahnya, coba tengok sejarahnya. Negara mana yang punya sejarah se-dramatis Indonesia? Untuk kesekian kalinya, saya jatuh cinta pada negara ini.
Namun kali ini, saya ingin mencoba untuk mengesampingkan semua rasa cinta yang tak terukur ini dan ingin mencoba beresoteris pada sisi gelap apa yang saya cintai ini. Berbicara tentang sisi gelap, saya ingat sebutan "Macan Asia" untuk Indonesia yang kemudian beberapa tahun belakangan di tambah menjadi "Macan Asia yang Tertidur" sebuah julukan yang semoga saja mampu menampar Bangsa Indonesia.

Saya ingin memulai pada pemerintah. Bagaimanapun usaha saya berpikir positif ketika mendengar kata “pemerintah”, yang terlintas dalam benak saya hanyalah budak, budak uang. Yang membuat seakan-akan uanglah yang mengatur seluruh sistem di Indonesia. Yang kuat di atas, yang lemah ditindas. Yang memerintah senang menyogok, yang diperintah bermental senang disogok. Cukup serasi untuk merusak pondasi negeri dan menghancurkan generasi bangsa. Coba tanyakan pada masyarakat tentang korupsi. Siapa yang tidak kenal istilah itu? Korupsi sudah menjadi makanan sehari-hari awak media. Saya bahkan sudah bosan, muak dengan istilah nista itu. Saya takut ketika suatu saat korupsi sudah menjadi hal wajar dan bukan lagi sebuah pelanggaran. (Amit-amit. Naudzubillah minzalik!!). Jangan sampai suatu saat, anak cucu kita (iya, kita ) menanyakan tentang pemerintah Indonesia dekade ini, dan yang bisa kita ceritakan hanya kisah koruptor yang semakin dramatis hingga memunculkan babak demi babak. Tragis!

Kita tengok di wilayah pendidikan. Lagi-lagi saya ingat dengan sebuah istilah : “Alergi Teknologi” atau bahasa gaulnya GAPTEK . kita hidup di zaman dimana logam dapat berbicara, logam lebih pandai dari manusia. Kalau tidak pandai, manusia benar-benar akan dikendalikan oleh benda-benda semacam itu. Nah, Masyarakat Indonesia sepertinya beresiko. Tidak perlu jauh-jauh, contoh nyatanya bisa dilihat pada pelaksanaan Ujian Nasional baru-baru ini. Ujian Nasional berbasis Komputer. Baru kabar burung yang menyebar, guru sudah kesana kemari mendoktrin siswanya tentang bagaimana menakutkannya Ujian Online itu. Kan Lucu, belum berperang tapi sudah kalah duluan. Hal inilah yang membuat siswa gelisah, takut menghadapi logam pintar bernama komputer. Contoh lain, belajar Bahasa Inggris dibilang tidak punya rasa Nasionalisme. Ini keterlaluan. Kalau tidak belajar bahasa inggris, lantas apa modal kita untuk hidup di zaman ini? Malu sama globalisasi! Belum lagi pemikiran kolot tentang kebudayaan yang hanya berputar-putar pada wilayah tradisional tanpa mau melihat ke depan akan membuat bangsa ini mengalami stagnasi. Cobalah untuk mempertahankan budaya yang ada sambil terus berkembang. Mengikuti arus tapi tidak terbawa arus globalisasi. Kita tidak lagi dibatasi oleh sekat Geografis. Maka dari itu, jiwa kompetitif mesti ditanamkan pada generasi penerus. Bukan malah menakut-nakuti mereka dengan kata “sulit” dalam menguasai piranti teknologi. Pembahasan tulisan ini sebenarnya tentang Indonesia. Tapi melenceng ke arah globalisasi. Karena rasa cinta tadi, saya selalu ingin negeri ini mampu bersaing di era globalisasi. Bersanding dengan negara-negara maju di luar sana.

Yang paling bobrok dan mengalami kehancuran adalah akarnya, yaitu hal-hal seperti moral, mental, dan hal-hal mendasar lainnya. Korupsi, saling hina, saling hujat, pembunuhan, bentrok antar sesama, pencemaran nama baik, pelecehan seksual yang bahkan sudah merembes ke kalangan anak-anak. Masalah utamanya terletak pada satu hal : moralitas. Ketika berbicara tentang moral, kita putar balik ke wilayah pendidikan. Ada berbagai upaya yang sudah coba dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, mulai dari penanaman nilai-nilai moral di lingkup pendidikan formal, hingga media massa dan berbagai kampanye yang dilakukan. Hasilnya? Belum bisa dijustifikasi saat ini karena generasi penerus bangsa sementara digembleng untuk perbaikan moral kedepannya. Saya berharap masalah fundamental seperti ini ditanganni seintensif mungkin.

Beralih ke wilayah mental. Ada yang mengatakan bahwa bagaimanapun moralnya diperbaiki kalau mentalnya memang mental penjahat, moral bisa apa? Pendapat ini memang tidak bisa disalahkan. Apalagi, jika lingkungan di pemerintahan memang sudah ber aura korup, mau tidak mau kalau imannya lemah, akan terjerumus juga.
Satu hal mengenai bangsa Indonesia sehubungan dengan mental. Bangsa Indonesia itu JUDGEMENTAL . termasuk saya sendiri. Kita terkesan hanya melihat satu sisi tanpa mempertimbangkan sisi yang lain. Mentang-mentang kita eksis dengan suasana mayoritas lantas menghakimi identitas mereka yang minoritas. Kita terlalu mudah melihat sisi buruk. Hanya karena anggota dalam suatu kelompok berubah wujud menjadi anjing lantas menganjingkan anggota kelompok yang lain. Kelinci yang lucupun akan menjadi buas jika diperlakukan seperti itu. Judgemental yang keterlaluan akan menimbulkan konflik. Kita hidup di negara yang serba beragam dan kita sering lupa akan hal itu hingga mudah terpecah oleh hal-hal kecil. Jangan sampai keberagaman yang selalu kita bangga-banggakan selama ini menjadi jurang pemisah di antara kita dan Bhineka Tunggal Ika hanya dijadikan hiasan dinding semata. Cobalah belajar untuk memaknai sesuatu bukan hanya pada satu sisi, bukan pada apa yang dikatakan orang lain. Karena tidak semua orang pandai memaknai emosi.

Sudah hampir satu lembar saya mengangkat sisi gelap satu kata sembilan huruf yang saya cintai ini. Tapi rasanya masih banyak hal yang ingin saya ungkap. Memang, membahas permasalahan di Indonesia itu bagaikan menguras air laut. Tidak akan ada habisnya!. Saya punya 1001 alasan untuk membenci Indonesia, tapi entah mengapa, sedikitpun rasa benci itu tidak pernah muncul bahkan di lubuk hati yang terdalam. Mungkin karena sudah terlanjur cinta. Pertanyaan yang muncul kemudian “Kontribusi apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia?” coba tanamkan pertanyaan itu dalam benak kita bahkan hati kita msing-masing hingga kita menemukan jawabannya di kemudian hari.


Tiba-tiba saya ingat dengan perkataan Bung Karno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” Sebuah quote yang pas untuk menutup tulisan ini.
swarafun.deviantart.com

*Nb : tugas dari divisi Jurnalistik yang tidak kunjung dikumpulkan*

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates