Ketika
kau tahu bahwa suatu hal akan berakhir buruk, sanggupkah kau mengakhirinya
ketika masih terasa indah?
Halo!
Orang bijak mengatakan bahwa
kita bisa belajar dari banyak hal. Bahkan dari suatu hal yang buruk sekalipun. Selalu
ada yang bisa kita pelajari dari setiap hal. Tidak peduli seberapa kecil
kuantitasnya atau seberapa rendah kualitasnya. Yang penting kita belajar. Salah
satu tujuan kita hidup memang untuk belajar, bukan?
Kehadiran blog ini juga
seperti itu. Author blog ini adalah
orang yang jauh dari kata ‘baik’. Jadi, semoga ada hikmah yang bisa diambil
dari blog ini tanpa perlu memandang siapa authornya.
Kita sama-sama belajar (iya, kita).
Salah satu objek
belajar yang paling saya senangi adalah Tokoh atau karakter dari tokoh fiksi. Mereka
memang tidak ada dalam dunia nyata tapi disanalah terkadang saya menemukan
bahwa imajinasi yang ditawarkan alur cerita fiksi itu tanpa sadar sering saya
temui di dunia nyata. Kalian boleh menyebut saya melankolis dan sejenisnya and I don’t deny it.
Selain dari orang-orang
tidak nyata di tokoh fiksi, belakangan saya juga belajar banyak dari seseorang.
Tapi bukan dia yang ingin saya bahas. Tidak baik jika terlalu sering membahas
tentang kegagalan. Pembahasan tentang belajar dari alarm akan jauh lebih
menarik.
Iya, Alarm. Yang sering
kita temui setiap hari. Atau yang lebih spesifiknya alarm otomatis. Yang di
setel sebelum tidur. Hal yang seringkali dianggap sepele ini ketika
dipikir-pikir (bagi orang-orang yang ingin berpikir), kita bisa belajar dari
sistem yang tercakup dalam smartphone kita
ini. Karena sebagian besar orang sudah jarang menggunakan jam weker sebagai
alarm (kalau masih ada, tolong sisakan satu orang setia seperti ini),
kebanyakan orang menggunakan smartphone
sebagai alarm.
Misalnya, sebelum tidur
kita menyetel alarm pukul 05.00 dengan keyakinan penuh dan ekspektasi mulia akan
bangun untuk beribadah. Kemudian kita terlelap jauh berlayar ke pulau kapuk. Hingga
ketika tahap demi tahap perintah dilalui oleh sistem di smartphone, lalu jam
digital di layar menunjukkan pukul 05.00, mulai ada getaran, lambat laun
menjadi dering yang semakin keras semakin memekakkan telinga bahkan mungkin
menjadi nada yang paling tidak ingin kita dengar, dengan tanpa rasa bersalah,
kita terbangun kemudian menggeser warna merah di layar smartphone dan kembali melanjutkan tidur. Ekspektasi mulia tadi
dalam sekejap akhirnya menjadi realita yang hina. Terlambat bangun kemungkinan
besar adalah penyebab terlambatnya juga aktivitas berikutnya. Entah itu
sekolah, kuliah, ataupun terlambat bekerja.
Kemudian di malam
berikutnya, kejadian mempermainkan alarm itu terulang kembali. Kita terbuai
dalam tidur yang indah tanpa ingin mengakhirinya. Bayangkan bagaimana sulitnya
menjadi alarm, yang dimatikan sebelum ia sempat membangunkan kita untuk
kemudian benar-benar beribadah. Yang dimatikan sebelum sempat berarti.
Lagipula, sebelumnya
bukankah sudah jelas tertanam di kepala bahwa ketika saya melanjutkan tidur
setelah alarm itu berbunyi, saya pasti akan bangun terlambat. Lalu kenapa
tidurnya masih dilanjutkan?
Nah, alarm ini adalah
contoh paling sederhana kasus “mempertahankan kebodohan”. Sudah jelas kita tahu
akibatnya bagaimana, tapi kita masih bersikeras melakukan sebabnya. Seakan-akan
kita memberi kesempatan kepada kegagalan untuk terus menerus membodohi kita.
Ayolah, jadi manusia
jangan terlalu takabur. Seharusnya kita bersyukur dikaruniai akal. Jangan terus
mengulang-ulang kebodohan. Jangan sampai banyak korban “mati sebelum berarti”
seperti alarm tadi gara-gara ketakaburan kita sebagai manusia.
Sekian.
Sedikit catatan :
Jika belum mampu
menjadi penulis, jadilah pembaca yang ulung. Indonesia butuh pegiat-pegiat sastra/literatur.
Hidup Pithecanthropus Erectus!
0 komentar:
Posting Komentar