Aku mencarimu sepanjang tahun, ingin kutanyakan beberapa hal :
Sepanjang tahun ini, berapa poin dari
bucket list yang berhasil terpenuhi? adakah dinamika yang membuat prinsipmu
goyah? Atmosfer mana yang membuatmu berhasil beradaptasi? Kota mana yang paling
sering kamu kunjungi? Luka mana yang berhasil kamu sembuhkan? Makanan apa yang
paling sering kamu pesan? Ah, senangnya jika bisa mendengar kisahmu tahun ini
yang jika ia adalah spektrum, Aku yakin warnanya akan jauh lebih indah dari
pelangi.
Sayangnya, tidak kutemui
sosokmu dimanapun. Pada hal-hal yang datang dan pergi, ranting-ranting kayu
yang patah di pinggir jalan, tembok dengan cat terkelupas di tengah kota,
kesibukan-kesibukan akhir tahun, bahkan di fitur terbaru instagram. Aku
mencarimu sebanyak itu dan jejakmu tidak kutemukan dimanapun. Dan aku makin
menyadari bahwa: hal-hal yang tidak pernah dimulai adalah yang paling mungkin
menjadi abadi. Sepertimu, dalam pencarianku.
Dimanapun saat ini Kamu
berada, Aku ingin bercerita.
Kaleidoskop 2022
Aku bertemu banyak jenis
manusia tahun ini. Mungkin mereka sudah lupa denganku, Tapi di dalam kepalaku
mereka terekam jelas, menjadi memori yang selalu kubawa sepanjang tahun. Tidak semua
ingin kukenalkan padamu. Hanya satu dua orang.
Pertama, biar kukenalkan dengan Nara; seseorang yang kutemui pada pertengahan Januari. Aku pertama kali bertemu Nara secara virtual waktu itu. Biasanya berinteraksi lewat zoom meeting selalu membosankan, bukan? Tapi, dengan Nara Aku tidak merasa bosan sama sekali. Dia cantik sekali, wajahnya teduh. Kau pasti akan sepakat denganku kali ini. Mata keranjangmu tidak akan sanggup menepis binar matanya yang menawan. Kami(Aku, Nara,dan empat orang lainnya) rutin zoom meeting tiga sampai empat kali sebulan selama tiga bulan. Semacam evaluasi rutin untuk calon karyawan yang WFH. Di bulan kedua, Aku mengajak Nara bertemu secara langsung meskipun masih harus mengenakan masker karena bulan Februari waktu itu, kasus covid bertambah 36.501 orang dan berhasil meraih angka 4.844.279 kasus sejak awal kemunculannya. Apalagi, katanya muncul varian baru, kan? Tapi, apapun variannya, solusinya tetap lockdown abal-abal. Ups.
Kembali ke Nara. Aku akhirnya bertemu Nara! Seharusnya kuajak kamu waktu itu. Keindahannya real no efek. Aku yang penuh effort untuk tampil cantik ini kalah telak dengan riasan sederhananya. Kami memulai interaksi dengan topik seputar pekerjaan kemudian lama kelamaan kami saling terbuka mengenai kehidupan pribadi masing-masing. Aku semakin takjub, Nara adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dua adiknya masih kuliah, satu lagi masih balita. Kedua orang tuanya menggeluti usaha kecil-kecilan yang jika dihitung keuntungannya dalam sebulan hanya cukup untuk membeli susu formula adiknya yang bungsu. Keperluan rumah yang lain? Itu urusan Nara. Keperluan perkuliahan kedua adiknya? Tentu masih urusan Nara juga. Katamu, gajiku sejak awal bekerja cukup banyak, kan? Tapi, bagi Nara jauh dari cukup. Nara hanya menikmati 12% dari gajinya untuk dirinya sendiri. Sisanya, yang tentu lebih besar diberikan untuk keluarga. Aku takjub membayangkan sekuat apa bahu Nara.
Kamu harus melihat senyum di wajah Nara saat menceritakan semua beban itu.
Ketulusan yang membuatku bergidik, tanpa ada keluh kesah dari tuturnya yang
lembut. Bahkan ketika Aku dengan tidak tahu malu bertanya “mengapa bisa sekuat
itu?”, Nara menjawab ringan “aku sudah terbiasa dengan pemakluman”. Sejak pertemuan
hari itu, Aku memandang Nara dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sekedar Nara
yang cantik tapi juga sebuah sayap besar terkungkung di bahunya yang ramping.
Bulan keenam, Aku kembali
bertemu Nara. Kali ini tanpa masker karena benda insidentil itu sudah boleh
dilepaskan di ruang terbuka. Kali ini kami bertemu bukan karena pekerjaan.
Sekedar ingin tahu kabar masing-masing. Seperti sebelumnya, Nara mendengarku
dengan baik terlebih dahulu. Satu lagi poin plusnya, Nara adalah pendengar yang
baik. Kemudian, Nara bercerita tentang rutinitasnya selama WFO, harus berangkat
dari rumahnya pukul 6 dan pulang ketika gelap tiba. Lalu, bagai perayaan duka,
Nara bercerita sebelum kesini, ia tadi di kantor polisi. Katanya, ia menanyakan
kejelasan soal kasus pelecehan dan kekerasan yang dialaminya oleh mantan rekan
kerjanya satu tahun yang lalu. Nara tidak menyerah dengan kasus itu meskipun
tak pernah ada keadilan, karena katanya lagi : ia sudah terbiasa dengan
pemakluman. Meskipun, sampai hari ini Nara selalu menghindari lelaki dengan bau
rokok (sayang sekali, Kamu tereliminasi). Nara, meskipun suaranya bergetar,
sorot matanya tidak goyah. Mustahil menjadi Nara, menurutku ada yang terasa
asing meski kami sudah berinteraksi selama setengah tahun.
Sejak hari itu, Aku tidak
lagi bertemu Nara, karena kami harus berada di tim yang berbeda. Tapi, bayang-bayang
Nara yang cantik dengan sayap besar yang terkungkung di bahunya yang ramping
itu, masih melekat jelas. Dari Nara, Aku belajar tentang penerimaan. Manusia
yang terbiasa dengan pemakluman bisa menjadi setegar Nara. Aku ingin berhenti
mengeluhkan hal-hal remeh yang masih bisa kumaklumi: hujan deras ketika ingin
berangkat, gaji yang menguap di akhir bulan, jaringan yang lemot, kehabisan
tiket konser, antrian panjang di depan kasir, chat yang lama dibalas, makanan
yang kurang enak, minuman yang tumpah padahal masih banyak, AC ruangan yang
mati, jalanan yang macet, matahari yang bersinar terik, ban motor yang pecah,
dan hal-hal remeh lain yang banyak kukeluhkan sepanjang tahun ini. Meski tidak
sekuat Nara, Aku ingin belajar memaklumi.
Kedua, Aku ingin
mengenalkanmu dengan Duma. Aku bertemu dengannya awal Mei, waktu itu Aku mudik
ke kampungku yang jaringannya hanya 2G itu, beruntungnya Aku di mudik kali ini
karena meski tidak bisa mengakses dunia maya disana, Aku bisa berkenalan dengan
dunia Duma. Duma seorang lelaki yang bertubuh jenjang, sedikit bungkuk, dan
agak kurus. Ia selalu mengenakan topi dengan posisi terbalik, terkadang
mengenakan sepatu, kadang juga sandal jepit kebesaran, berjalan dengan carrier
besar di punggungnya, entah apa isinya. Mungkin peralatan untuk bertahan hidup.
Duma ini manusia nomaden,
hampir setiap sudut di negeri ini telah ia datangi. Katanya, ia hanya sedang
berjalan menuju pulang. Ia punya rumah, tentu saja. Tapi, ketika orang-orang
mudik ke rumah masing-masing untuk liburan saat lebaran, ia tidak pulang ke
rumahnya. Duma justru duduk di atas mobil pick up pengangkut rumput gajah
bersama Aku dan pamanku yang duduk di jok depan. Duma ingin menumpang sampai ke
perbatasan, katanya Ia ingin masuk. Masuk bagi orang-orang di kampungku adalah
masuk ke pedalaman yang lebih dalam. Tidak ada akses jalan, bahkan pejalan kaki
bisa kecelakaan tanpa mengendarai apapun. Bahkan, pegawai negeri sipil yang
ditempatkan disana hanya masuk dua kali dalam sebulan. Aku belum pernah masuk,
hanya mendengar pengalaman orang-orang. Konon, pendatang yang sudah pernah
masuk, tidak pernah ingin masuk lagi untuk yang kedua kalinya. Namun kata
pamanku, Duma sudah berkali-kali menumpangi mobilnya ke perbatasan untuk masuk.
Tujuannya kali ini adalah membantu warga disana untuk membangun mushollah. Duma
berjanji bahwa lebaran kali ini, untuk pertama kalinya warga akan sholat ied di
musholah. Duma bahkan lebih mahir menyenangkan hati rakyat dibanding para wakil
rakyat. Ups.
Perjalanan menuju perbatasan
hampir empat jam lamanya, Duma turun untuk berjalan kaki sekitar satu setengah
jam lagi. Sendal jepitnya ia ganti dengan sepatu gunung. Duma menjabat tangan
paman dan Aku. Memberiku gelang simpai, karena ia baru saja pulang dari Kalimantan.
Duma juga punya satu simpai di lengannya, berjejer dengan gelang-gelang lain.
Gelang simpai biasanya dianyam langsung di lengan, tapi katanya ia menyiapkan
satu gelang simpai sebagai kenang-kenangan dan ia berikan untukku. Gelang dari
akar tanaman jangang itu masih kupakai sampai sekarang. Pun sosok Duma, masih
kurekam dan kumaknai cerita hidupnya. Ia hidup untuk menghidupi. Tidak pernah
menetap namun menebar manfaat. Meski tidak semulia Duma, Aku juga ingin menebar
manfaat. Sesederhana membuang sampah pada tempatnya, memberikan tempat duduk
kepada orang yang lebih tua, menahan pintu atm untuk orang lain, memindahkan
anak kucing dari tengah jalan, memberi tip untuk driver ojol, tidak menawar
jualan pedagang kecil, saat berkendara memberi kesempatan pejalan kaki untuk
melintas, dan hal-hal kecil lain. Hal-hal besar tidak selalu lahir dari
pekerjaan besar, bukan? Ada kalanya, hal besar lahir dari hal-hal kecil yang
terlihat sepele. Meski tidak semulia Duma, Aku juga ingin menjadi bermakna.
Ketiga, Aku ingin
mengenalkanmu kepada dirimu sendiri. Manusia yang punya banyak sekali urusan
dalam kepalanya. Bagaimana bentuk bahagia terakhir dalam ingatanmu? Apakah
mampu mengalahkan deretan prasangka yang belum tentu terjadi itu? Serupa sunyi
yang dibiarkan berlarut-larut, kamu bisa saja dibuat kebas oleh sepi. Sudah
sampai mana kamu berkemas? Sudahkah kau rapikan memori yang berantakan di
penghujung Agustus? Apakah kopermu masih muat menampung kegagalan di awal
Oktober? Lalu, akan kau apakan duka-duka Januari hingga Maret?
Di penghujung tahun ini kepalamu
penuh dengan urusan, kedua tanganmu tidak kalah sibuk. Tangan kananmu
menggenggam koper, sementara di tangan kirimu terlihat selembar tiket menuju
tahun berikutnya. Di punggungmu ada ransel berisi harapan-harapan, tidak berada
dalam genggamanmu, tapi untuk melepasnya, kau juga harus melepas koper dan
tiket di kedua tanganmu terlebih dahulu. Lihatlah, betapa berpengaruhnya
harapan dan doa-doa. Ekspektasimu terhadap tahun berikutnya tidak harus litotes
ataupun hiperbolis, kamu cukup menjalaninya dengan keberanian. Seperti Nara
yang penuh penerimaan dan Duma yang penuh pemaknaan. Juga dirimu, yang penuh
keberanian.
Kepadamu Aku hanya ingin
berpesan : betapapun pandainya kita berkemas, akan selalu ada hal yang
tertinggal. Kita hanya perlu belajar menerima.
Demikian, Kaleidoskopku
menjelma Resolusi.
0 komentar:
Posting Komentar