Terserah
ingin kau hubungkan dengan apa hujan itu, entah kenangan atau genangan. Bagiku,
hujanlah keindahan yang nyata~
![]() |
www.qureta.com |
Tak ada maksud
mengagungkan hujan begitu berlebihan. Tapi di bulan-bulan akhir tahun ini,
seperti dihipnotis, pesonanya semakin membuatku jatuh ke afeksi yang tidak
terkendali. Mataku hanya mampu memandangi rinainya yang saling berkejaran,
sementara ragaku kaku tak ingin beranjak, tak ada yang boleh mengganggu
kemesraan yang kujalin dengan tetesan air dari langit itu. Tidak ada kenangan
dan persetan dengan genangan. Bukan salah hujan, aku lebih senang menyalahkan
lubang-lubang di jalanan beraspal yang rusak.
Sedikit informasi, Aku
mampu berkomunikasi dengan hujan. Kau boleh menyebutku gila, tapi inilah yang
ia sampaikan padaku :
-Hari ini Aku diutus
untuk jatuh di sebuah negara. Sudah sering Aku jatuh ditempat itu. Tapi akhir-akhir
ini rasanya suasana di tempat itu terasa mencekam. Aku tahu betul bagaimana
kondisinya sejak negara itu masih terpecah belah, sebelum rakyatnya memberinya
predikat ‘Merdeka’. Kau tahu, Aku kembali merasakan perasaan itu. Masa ketika
setiap orang menempatkan ego di atas segalanya. Ketika masih ada sekat-sekat di
antara mereka. Ketika belum ada lima sila yang dibacakan anak sekolah setiap
hari senin di upacara bendera. Atau ketika belum ada burung garuda yang di
pajang di atas papan tulis di ruangan kelas.
Aku ingat ketika Aku
diutus beberapa minggu yang lalu. Aku mencoba memastikan apakah burung garuda
yang dipajang itu masih berpegangan pada sebuah pita. Rinaiku merasa lega
ketika cengkraman burung garuda pada pita itu masih terlihat begitu kuat. Aku hanya
takut, ketika pita itu dilepas oleh burung garuda. Aku tidak ingin semboyan
yang begitu indah yang tertulis di pita itu menghilang. Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu, katanya.
Ketika pita itu nyatanya
masih dicengkram kuat, lantas mengapa rakyatnya terlihat begitu sensitif? Pembahasan
mereka tidak lepas dari saling hujat, bertentangan, hingga saling membenarkan
diri mereka masing-masing. Kaum mayoritas menyudutkan minoritas, sementara
mereka yang minoritas dari sudut menodongkan perisai-perisai kedengkian.
Kau pasti setuju
denganku wahai pemuda masa kini, ketika kukatakan bahwa sosial media dipenuhi
dengan postingan-postingan konflik bernuansa SARA. Postingan itu kemudian
dipenuhi komentar-komentar saling menjatuhkan satu sama lain. Tak ayal,
kata-kata kasar bagai pedang yang mengoyak perasaan diluncurkan begitu saja. Seakan-akan
papan ketik yang mereka gunakan dipahat dari neraka.
Mereka yang
mengangung-agungkan pluralisme dan menyebutnya sebagai aset negeri ini mulai
terlihat apatis. Bagaimana tidak? Ketika ia berada di golongan merah, ia disebut
sebagai provokator kemudian ketika berada di golongan putih, ia mulai dianggap
sebagai penista. Bahkan ketika netral pun ia masih di cap dengan predikat tidak
menyenangkan. Lalu harus diapakan kondisi seperti ini? Haruskah berpura-pura
tidak tahu? Rantai yang membelenggu dan
menimbulkan sekat-sekat tidak akan hancur ketika orang-orang menolak untuk tahu.-
Itu yang hujan
sampaikan padaku. Aku juga penasaran bagaimana kelanjutannya. Tapi rinainya
berhenti tiba-tiba sebelum Aku sempat bertanya apa yang harus Aku perbuat
berikutnya? Sebagai seorang mahasiswa yang awam, Aku hanya mampu mengartikannya
sebagai bahan renungan. Bagaimana denganmu?
(sedikit catatan di
sore yang bebas, tanpa tugas kuliah)
keren sis,banyakin absurd2 nya ya,,,hehe
BalasHapusSiaap. Keep reading yaa :)
BalasHapusI like that but absurd is less
BalasHapusIyaa. Postingan yang ini harus diseriusin. The next post, Absurd will back :D
Hapus