Halo!
Selamat Tahun baru
tahun depan!
For your information,
sama halnya dengan postingan-postingan sebelumnya, tulisan ini dibuat dalam
keadaan yang masih dalam taraf mencari tahu dan beberapa potong tempe. Jadi
ketika ada hal-hal yang tidak bisa diterima oleh pembaca yang ilmunya jauh
lebih mumpuni, maafkan keterbatasan ilmu yang penulis miliki.
Jangan tanya kenapa
judulnya tiba-tiba keramat. Pakai kata rasional segala. Judul ini saya dapat
dari seorang dosen yang di sela-sela memberikan kuliah tentang bagaimana
menghadapi siswa kelas rendah, tiba-tiba mengeluarkan kalimat sepuitis
“Rasional bukan berarti tanpa rasa”. Seketika kantuk saya hilang dan dengan
sigap mengecek kaki dosen tersebut dan Alhamdulillah masih menyentuh lantai.
Iya, takutnya beliau juga adalah dosen ghaib seperti yang booming baru-baru ini. Terimakasih Ibu dosen, setidaknya ada
sedikit inspirasi untuk mengupdate blog yang sudah usang ini.
Memiliki kemampuan
berpikir rasional merupakan suatu aset yang berharga bagi seonggok daging yang
menyebut diri mereka manusia. Pemikiran rasional adalah cara berpikir
menggunakan penalaran berdasarkan data yang tersedia untuk mencari kebenaran
faktual, keuntungan dan tingkat kepentingan. Dalam kata rasional, barangkali
sudah mencakup berbagai kata yang maknanya hampir sama, seperti kritis,
analitis, bahkan mungkin idealis. Mungkin yaa (pemahaman saya belum sampai
disitu)..
Mengapa saya mengatakan
aset yang berharga? Karena ketika cara berpikir rasional diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, mereka yang memiliki kemampuan berpikir rasional dengan
baik, akan memiliki motivasi yang kuat terhadap segala sesuatu, baik saat
belajar, bekerja, beraktivitas maupun saat mengalami kegagalan atau suatu
tekanan. Apa yang perlu dipermasalahkan ketika sudah memiliki dasar atau
keyakinan? Saat berhadapan dengan masalah apapun, pasti akan kembali ke
seberapa logisnya masalah tersebut harus diselesaikan.
Wah, dua paragraf di
atas cukup serius ya. Kalau diseriusin sampai paragraf ketiga, takutnya kepala
saya berasap. Nah makanya beralih ke bagian lain dari judul, tentang ‘rasa’.
Iya, bagaimanapun rasionalnya suatu hal, bukan berarti ia tidak memiliki rasa,
bukan? Rasa yang saya maksud disini bukan rasa sapi panggang, original, rumput
laut, ataupun anggur, melon, durian, apalagi sapi panggang campur durian.
Bukan. Rasa yang saya maksud terkait dengan hal-hal yang tidak begitu
membutuhkan nalar tapi lebih kepada naluri dan bukan berarti irasional. Ia
tetap rasional hanya saja dibumbui dengan sedikit rasa.
Ikhlas, misalnya. Rasa
ikhlas menurut saya bukan sebatas menyerahkan sesuatu kepada orang lain lantas
berkata “ambil saja, saya ikhlas”. Ketika mengatakan hal yang terdengar baik
itu, bukankah ada pamrih di dalamnya? Mengharapkan umpan balik seperti balas
budi ataupun sesederhana ucapan terimakasih atau seulas senyum sekalipun
bukankah itu termasuk meminta pamrih secara tidak langsung?
Contoh nyatanya bisa dilihat
pada pesta-pesta demokrasi. Para wakil rakyat yang memberikan bantuan
besar-besaran secara Cuma-Cuma ‘katanya’, lalu ujung-ujungnya berkata “ingat
coblos nomor 999”. Apanya yang Cuma-Cuma? Cumi? Ataupun bos pada suatu
perusahaan memberikan bonus mobil atau rumah kepada karyawannya dengan harapan
karyawannya dapat bekerja lebih giat. Harapan itu juga termasuk meminta pamrih
bukan? Bukankah ikhlas itu tanpa pamrih? Lalu ikhlas yang sebenarnya itu
seperti apa?
Pernah tidak, Anda
mampir di pom bensin mini di pinggir jalan dalam keadaan yang terburu-buru.
Setelah mengisi bensin, mengeluarkan uang sepuluh ribu. Belum sempat diberikan
kembalian dua ribu rupiah, Anda langsung tancap gas sambil berkata “ambil saja
kembaliannya” kemudian kembali terburu-buru untuk sampai ke tujuan. Kemudian
uang kembalian yang tadi tidak sempat Anda ambil terlupakan dalam sekejap.
Tanpa pamrih, bukan? Itukah ikhlas?
Atau pernah tidak, Anda
menjatuhkan sebuah penghapus bekas yang tadinya masih berwarna putih sekarang
sudah berubah menjadi kecoklatan karena sudah terlalu sering digunakan untuk
menghapus, entah itu menghapus tulisan, coretan, atau kenangan *eh*. Lantas
penghapus itu dipungut oleh orang lain dan ia memintanya. Anda dengan masa
bodoh berkata “ambil saja” lalu berkata dalam hati “lagipula itu sudah tidak
kugunakan”. Anda memberikan hal yang sudah tidak berguna itu tanpa pamrih, bukan?
Itukah ikhlas?
Kalau kasus uang
kembalian dua ribu rupiah dan penghapus bekas yang mungkin tidak ada nilainya
bagi pemberi dijadikan ukuran keihlasan, bukankah terlalu mengkerdilkan makna
keikhlasan itu sendiri? Jadi ikhlas itu seperti apa, wahai rasionalis? Bukan
hanya rasa ikhlas, Rasa lain seperti ketulusan, yang saya rasa tidak perlu
dianalogikan seperti rasa ikhlas diatas, karena ketika berbicara tentang tulus,
takutnya banyak yang baper. Tahu tulus kan? Penyanyi solo yang punya lagu
sepasang pentofel ituu. Bukan. Bukaan.
Sebenarnya apa yang
coba saya sampaikan dari tulisan ini? Ada hal-hal yang tidak perlu terlalu
dihubungkan dengan nalar. Ia lebih membutuhkan naluri, dorongan dari hati.
Tanpa perlu akal ikut andil di dalamnya. Keikhlasan, ketulusan, kasih sayang,
dan hal-hal lain sejenisnya yang tidak perlu dipelajari. Mereka hadir secara
alamiah dalam diri seorang manusia. Ketikapun Rasionalitas turut andil di
dalamnya, ia hadir sebagai penguat bukannya menimbulkan keragu-raguan pada diri
seseorang. Alangkah lebih baiknya ketika Rasional disertai rasa ditanamkan
dalam diri manusia. Ketika sisi keras pada setiap orang disatukan dengan hati
nuraninya, Kemanusiaan akan menjadi hal yang lumrah diagung-agungkan diberbagai
belahan dunia.
![]() |
Cukup sekian. Dapat atau
tidak maknanya, semua kembali kepada pembaca sekalian. Btw, di bawah ada kolom
komentar. Silahkan berkomentar atau berikan sedikit saran topik yang menarik
untuk diulas kedepannya. Blog ini jarang di update karena kekurangan topik.
Karena yang punya blog hidupnya terlalu datar. Tapi bumi tetap bulat.
Hidup Bumi Bulat!
0 komentar:
Posting Komentar