with Yuliana Firman

Selasa, 26 Januari 2016

Selembar Dua Ribu

Halo!

Postingan kali ini lagi bener. Nggak ngaco kayak postingan sebelum-sebelumnya.


#lagibener

Masyarakat pada umumnya di era modern ini disibukkan dengan rutinitas sehari-hari mereka. Mereka berlomba-lomba mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang-orang sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Orang yang bekerja di kantor dengan dokumennya, guru dengan siswanya, dokter dengan pasiennya, koki dengan masakannya, nelayan dengan ikannya, pengamen dengan gitarnya, tukang parkir dengan selembar dua ribu rupiahnya, dan lain-lain. Mereka seakan-akan hidup bersanding dengan dunianya sendiri tanpa mau berbagi dunia dengan orang lain. Seperti sepenggal kisah berikut.

Seorang wanita memacu motornya dengan kencang, ia menuju ke sebuah toko kecil untuk membeli lilin untuk kue ulang tahun putrinya. Dengan terburu-buru, ia memarkirkan motornya berjejeran dengan dua motor lainnya. Ia hanya meletakkan helmnya pada spion motornya dan mengambil kunci motornya lalu berlari masuk ke toko tanpa sempat berbalik melihat posisi motornya.

Selang beberapa menit, ia keluar dari toko dan menaiki motornya dengan terburu-buru ingin segera kembali ke pesta ulang tahun anaknya. Belum sempat ia memutar kunci motornya, dua orang anak kecil berlari menghampirinya. “parkirnya bu” anak kecil itu mengulurkan telapak tangannya. Wanita itu mendengus dan berkata dengan keras “saya cuma sebentar malah minta uang, enak banget kamu. Saya buru-buru. Nggak ada uang kecil”. Kedua anak kecil tadi pergi dengan wajah lesu.

Setelah sampai di rumahnya, putrinya yang baru berumur 4 tahun menunggunya di depan pintu dan berkata “ma, kue ulang tahunnya gede banget, aku nggak bisa habisin. Kita bawa ke anak-anak yang nggak pernah makan kue tar yah bu”. Sang ibu heran dan berkata “loh, kenapa? Kan sayang, kuenya enak loh nak. Kalau belum bisa habisin, kan bisa di simpan di lemari es dulu”. Putrinya menghampiri dan memeluk ibunya seraya berkata “mah, kuenya memang enak, tapi lebih enak kalau dimakan orang yang nggak pernah makan kue enak itu. Kalau mereka senang, adek lebih senang lagi mah, kan mama yang ngajarin adek”.

Wanita itu terdiam, merasa terpukul dengan perkataan polos anaknya, benar sekali bahwa ia yang selama ini mengajarkan kepada anaknya tentang indahnya berbagi, bersedekah, dan tolong menolong. Ia tiba-tiba teringat pada dua orang anak kecil tukang parkir yang tadi di bentaknya. Begitu mudah ia menasehati anaknya, tetapi ia bahkan tidak memiliki ketulusan untuk menerapkannya.

Yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah bahwa di saat sekarang ini sangat banyak orang yang ‘terlihat’ peduli dengan orang lain. Mereka mengupdate status tentang kemanusiaan, kata-kata bijak tentang tolong menolong. Tetapi untuk hanya sekedar memberi selembar dua ribu rupiah kepada tukang parkir saja ia harus membentak terlebih dahulu. Orang-orang hanya pandai berteori tanpa ada niat untuk melakukannya. Mereka mengejar ketenaran di dunia maya, tetapi gengsi melakukannya di dunia nyata.

Tidak ada salahnya menyisihkan sedikit saja bagian kita untuk mereka yang membutuhkan. Mereka juga punya bagian, hanya saja tidak seberuntung orang lain. Mereka perlu merendahkan diri agar mendapatkan bagiannya. Lagipula, tidak ada orang yang menjadi miskin karena berbagi. Tidak perlu banyak, asalkan ada ketulusan di dalamnya. Tidak perlu memberikan ratusan ribu. Mulailah berbagi meskipun hanya dengan selembar dua ribu rupiah yang berisi ketulusan.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates