“Mungkin tujuan kita dipertemukan di semesta ini untuk melengkapi teka-teki kehidupan. Tapi, bahkan sebelum mampu kupecahkan, mengenalmu membuatku banyak bersyukur”
Bulan Mei lalu pernah menulis
artikel tentang pemerataan pendidikan (yang judulnya Dorman). Ternyata terlalu
jauh saya melihat , sementara di daerah sendiri masih ada kondisi yang lebih
memprihatinkan.
Umur mereka berkisar antara 6-12
tahun. Tempat mereka berkeliaran bukan di taman kota, pusat perbelanjaan,tempat PS,
warnet, apalagi instagram. Kelincahannya berlari dan tertawa tidak pernah
tertangkap kamera, hanya direkam oleh hijaunya dedaunan. Cara mereka
mengekspresikan diri bahkan terkesan seperti orang tua. Bukan! Bukan pemikiran
mereka yang terlalu cepat dewasa, hanya karena kurangnya fasilitas hingga tak
satupun kosa kata kekinian yang mereka pahami. Bahasa sehari-hari dan bahasa
mereka di kelas bahkan kental dengan bahasa daerah bugis dengan logat setempat.
Tidak perlu menghakimi mereka yang tidak menggunakan bahasa persatuan karena mereka
anak-anak yang melestarikan budaya tanpa harus kita kambinghitamkan globalisasi.
Mereka melihat terang hanya
sampai sore hari, sementara malam harinya mereka harus puas dengan
remang-remang. Tidak ada listrik disana, daerah yang letak teritorialnya berada
jauh dari pusat pemerintahan. Mewujudkan pembangunan di daerah terpencil memang
memakan waktu dan proses yang lama dan berbelit-belit. Kejadian ini biasanya
disebabkan oleh medan-medan yang cukup sulit untuk dijangkau, karena alasan
transportasi, komunikasi dan masalah-masalah klasik lainnya. Dengan begitu
tidak jarang daerah-daerah terpencil tidak terjamah bantuan dan ujung-ujungnya terabaikan
oleh pemerintah.
Rasanya muak, bukan? Ketika sudah
disangkutpautkan dengan pemerintah? Mungkin itu pula yang dirasakan seorang
berhati mulia yang dengan besar hati mendirikan sebuah bangunan tempat mereka
belajar mengeja huruf-huruf, menjumlah dan mengurangkan angka-angka dari pagi
buta hingga siang hari. Sebuah pengabdian bagi generasi penerus bangsa.
Bangunan dari papan kayu tempat
anak-anak belajar itu menimbulkan afeksi. Ketika berada disana, waktu rasanya
cepat sekali berlalu, beruntung tak ada bunyi lonceng yang menuntut untuk
menyudahi aktivitas di kelas yang bahkan beralaskan tanah itu. Meski harus
belajar dengan bilingual (Bahasa Indonesia diterjemahkan ke bahasa bugis),
antusiasme mereka tidak mengendur sedikitpun.
Pernah saya mengeluhkan
perpustakaan di sekolah yang ada di perkotaan, kurangnya referensi buku dan
rak-rak yang masih kosong dan diisi dengan buku yang berdebu. Saat berada di
daerah itu, rasa syukur memenuhi dada. Disana bahkan tidak ada rak untuk buku
apalagi perpustakaan. Tidak ada fasilitas yang cukup memadai untuk menunjang
kemajuan proses belajar mengajar yang mereka lakukan. Gubug yang mereka sebut
sebagai gedung sekolah tidak mampu memberikan fasilitas yang memadai
sebagaimana sekolah-sekolah normal pada umumnya.
Antusiasme juga terlihat di wajah
mereka ketika melakukan latihan upacara untuk pertama kalinya. Tidak ada
keluhan, tidak ada rengekan ingin segera pulang ke rumah. Bahkan ketika lagu
Indonesia Raya mereka nyanyikan dengan hafalan lirik seadanya. “Indonesia Raya
Merdeka Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya”. Suara mereka menggema, memberikan
semangat kepada merah putih yang untuk pertama kalinya dikibarkan disana.
Hingga hari terakhir berada
disana, semangat mereka tidak sedikitpun meluntur. Tidak satupun dari mereka
yang membolos bahkan di hari minggu, hari mereka seharusnya menikmati libur. Tangisan
mereka ketika perpisahan adalah motivasi pertama yang menjadikan seorang manusia
benar-benar ingin menjadi guru. Karena mereka punya cita-cita, maka Aku harus
menjadi guru.
Kisah mereka untuk menuntut ilmu
adalah satu dari sekian banyak perjuangan anak negeri yang patut diperhatikan
oleh berbagai pihak. Mereka adalah oasis di negeri yang kalut.
“Dari mereka, yang baru mengenal
negaranya tapi entah kapan dikenal negaranya. Di sudut negeri yang tidak
tersentuh listrik apalagi tiktok. Dibandingkan berbagi, sungguh dari mereka
kami banyak belajar”
1-5 Agustus 2018
Dusun Dunru, Desa Pationgi,
Kecamatan Pattimpeng, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Sementara itu, di sudut negeri yang lain, duka juga tengah menyelimuti saudara-saudara kita. Mereka juga butuh oasis. Bahkan sesederhana sebuah doa. Lombok, semoga lekas membaik.
Sementara itu, di sudut negeri yang lain, duka juga tengah menyelimuti saudara-saudara kita. Mereka juga butuh oasis. Bahkan sesederhana sebuah doa. Lombok, semoga lekas membaik.
๐๐๐
BalasHapus