with Yuliana Firman

Selasa, 07 Agustus 2018

Oasis


“Mungkin tujuan kita dipertemukan di semesta ini untuk melengkapi teka-teki kehidupan. Tapi, bahkan sebelum mampu kupecahkan, mengenalmu membuatku banyak bersyukur”

Bulan Mei lalu pernah menulis artikel tentang pemerataan pendidikan (yang judulnya Dorman). Ternyata terlalu jauh saya melihat , sementara di daerah sendiri masih ada kondisi yang lebih memprihatinkan.

Umur mereka berkisar antara 6-12 tahun. Tempat mereka berkeliaran bukan di taman kota, pusat perbelanjaan,tempat PS, warnet, apalagi instagram. Kelincahannya berlari dan tertawa tidak pernah tertangkap kamera, hanya direkam oleh hijaunya dedaunan. Cara mereka mengekspresikan diri bahkan terkesan seperti orang tua. Bukan! Bukan pemikiran mereka yang terlalu cepat dewasa, hanya karena kurangnya fasilitas hingga tak satupun kosa kata kekinian yang mereka pahami. Bahasa sehari-hari dan bahasa mereka di kelas bahkan kental dengan bahasa daerah bugis dengan logat setempat. Tidak perlu menghakimi mereka yang tidak menggunakan bahasa persatuan karena mereka anak-anak yang melestarikan budaya tanpa harus kita kambinghitamkan globalisasi.

Mereka melihat terang hanya sampai sore hari, sementara malam harinya mereka harus puas dengan remang-remang. Tidak ada listrik disana, daerah yang letak teritorialnya berada jauh dari pusat pemerintahan. Mewujudkan pembangunan di daerah terpencil memang memakan waktu dan proses yang lama dan berbelit-belit. Kejadian ini biasanya disebabkan oleh medan-medan yang cukup sulit untuk dijangkau, karena alasan transportasi, komunikasi dan masalah-masalah klasik lainnya. Dengan begitu tidak jarang daerah-daerah terpencil tidak terjamah bantuan dan ujung-ujungnya terabaikan oleh pemerintah.

Rasanya muak, bukan? Ketika sudah disangkutpautkan dengan pemerintah? Mungkin itu pula yang dirasakan seorang berhati mulia yang dengan besar hati mendirikan sebuah bangunan tempat mereka belajar mengeja huruf-huruf, menjumlah dan mengurangkan angka-angka dari pagi buta hingga siang hari. Sebuah pengabdian bagi generasi penerus bangsa.

Bangunan dari papan kayu tempat anak-anak belajar itu menimbulkan afeksi. Ketika berada disana, waktu rasanya cepat sekali berlalu, beruntung tak ada bunyi lonceng yang menuntut untuk menyudahi aktivitas di kelas yang bahkan beralaskan tanah itu. Meski harus belajar dengan bilingual (Bahasa Indonesia diterjemahkan ke bahasa bugis), antusiasme mereka tidak mengendur sedikitpun.

Pernah saya mengeluhkan perpustakaan di sekolah yang ada di perkotaan, kurangnya referensi buku dan rak-rak yang masih kosong dan diisi dengan buku yang berdebu. Saat berada di daerah itu, rasa syukur memenuhi dada. Disana bahkan tidak ada rak untuk buku apalagi perpustakaan. Tidak ada fasilitas yang cukup memadai untuk menunjang kemajuan proses belajar mengajar yang mereka lakukan. Gubug yang mereka sebut sebagai gedung sekolah tidak mampu memberikan fasilitas yang memadai sebagaimana sekolah-sekolah normal pada umumnya.

Antusiasme juga terlihat di wajah mereka ketika melakukan latihan upacara untuk pertama kalinya. Tidak ada keluhan, tidak ada rengekan ingin segera pulang ke rumah. Bahkan ketika lagu Indonesia Raya mereka nyanyikan dengan hafalan lirik seadanya. “Indonesia Raya Merdeka Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya”. Suara mereka menggema, memberikan semangat kepada merah putih yang untuk pertama kalinya dikibarkan disana.

Hingga hari terakhir berada disana, semangat mereka tidak sedikitpun meluntur. Tidak satupun dari mereka yang membolos bahkan di hari minggu, hari mereka seharusnya menikmati libur. Tangisan mereka ketika perpisahan adalah motivasi pertama yang menjadikan seorang manusia benar-benar ingin menjadi guru. Karena mereka punya cita-cita, maka Aku harus menjadi guru.

Kisah mereka untuk menuntut ilmu adalah satu dari sekian banyak perjuangan anak negeri yang patut diperhatikan oleh berbagai pihak. Mereka adalah oasis di negeri yang kalut.

“Dari mereka, yang baru mengenal negaranya tapi entah kapan dikenal negaranya. Di sudut negeri yang tidak tersentuh listrik apalagi tiktok. Dibandingkan berbagi, sungguh dari mereka kami banyak belajar”

1-5 Agustus 2018
Dusun Dunru, Desa Pationgi, Kecamatan Pattimpeng, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Sementara itu, di sudut negeri yang lain, duka juga tengah menyelimuti saudara-saudara kita. Mereka juga butuh oasis. Bahkan sesederhana sebuah doa. Lombok, semoga lekas membaik.

Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates