Pada satu tarikan nafas, aku bisa memunggungi sebuah luka, tapi pada
helaan nafas dibelakangnya, ribuan duka yang lain telah mengambil ancang-ancang
di hadapanku. Siap menyerang kapan saja dengan membabi buta.
Tidak. Tulisan kali ini tidak
membahas tentang duka duka. Quote di atas hanya sebagai pembuka. Bingung saya
mau dimulai pakai kalimat apa. I’m just
type that quotes with no reason.
Belakangan ini banyak baca-baca
tulisan yang isinya seputar mind build.
Entah artikel atau fiksi yang saya baca tujuannya memang untuk mempengaruhi
atau tidak, tapi ada beberapa memang yang bisa membuat saya berpikir bahwa “wah,
benar juga”. Tapi tidak sedikit juga yang bertentangan dengan prinsip yang
selama ini saya punya.
Di tulisan-tulisan sebelumnya, saya
pernah sedikit membahas perihal open
minded, tapi hanya kulit-kulitnya. Takut salah tafsir. Makanya, kali ini
dengan bekal ke –sok tahu-an, saya ingin membahas hal itu lebih jauh. Tujuan utamanya
sederhana sih, supaya kita sebagai homo
sapiens bisa saling menghargai dalam hidup.
Tulisan di blog ini kedepannya
mungkin akan banyak membahas hal-hal yang cukup sensitif. Di umur segini, kalau
saya coba untuk memaknai hidup pasti bagi sebagian orang akan berkata “tahu apa
kamu. Umur masih seumur jagung sudah sok-sokan bicara soal hidup”. But no, saya
pikir justru di usia ini seharusnya manusia mulai belajar memaknai hidup. Tidak
kurang dan tidak lebih. 20 tahun ini fase krusial manusia. Meskipun tidak
sebanding dengan mereka yang berusia 30, setidaknya ketika kita sadar akan
bagaimana hidup itu berjalan di usia ini, semoga saja di usia kepala tiga,
empat, lima dan seterusnya nantinya tidak begitu banyak penyesalan yang
dirasakan.
![]() |
http://static.republika.co.id/uploads/images/inline/Make-Garden-Lanterns-from-Old-Tin-Cans-Intro.jpg |
Di masa-masa ini, kita mulai
bercengkerama dengan berbagai jenis orang. Mulai dari yang biasa saja, normal,
unik, dan bahkan yang menurut kita tidak etis sekalipun. Tanggapan kita saat
berbeda dengan orang-orang pun bukan lagi seperti anak kecil yang mungkin akan
menangis, berteriak tidak suka, dan lain-lain. Kalau masih ada yang menanggapi
perbedaan dengan cara seperti itu, coba introkspeksi diri. Yakin sudah 20
tahun?
Back to the title : Open Minded. Kita tinggal di semesta yang tidak
konstan, tapi terus menerus mengalami dinamika. Entah itu sesuai dengan
keinginan kita atau tidak. Ketika sesuai pasti kita akan menikmatinya, tapi ketika
tidak, apa yang bisa kita perbuat selain terpaksa beradaptasi? Nah, salah satu
hal yang bisa dijadikan modal adalah open
minded ini.
Open minded kalau dibahasa Indonesiakan kurang lebihnya adalah
keterbukaan pikiran. Dikutip dari blog open minded Indonesia, yang mengatakan
bahwa “Keterbukaan
pikiran kita untuk menerima sesuatu yang baru dari luar batas toleransi
pengertian kita menandakan kalau kita mampu untuk membuka diri kita terhadap
apapun yang bisa saja menggoyangkan prinsip kita. Seperti yang kita ketahui,
tidak gampang menerima suatu prinsip dari luar sana yang berbeda bahkan
bertentangan dengan prinsip dasar berpikir yang sudah kita punya.”
Oke, cukup teori-teorinya. Saya ingin menggambarkan aplikasi
dari open minded ini dalam kehidupan sehari-hari. Terkhusus di lingkungan saya
pribadi, tidak sedikit orang di luar sana, bahkan mungkin saya sendiri pernah
khilaf melakukannya, ketika bertemu dengan hal yang berbeda dari prinsip kita,
langsung kita judge tidak baik. Disudutkan,
bahkan dipaksa untuk menyamakan prinsipnya dengan kita, khususnya mereka yang
pahamnya masih dalam skala minoritas. Misalnya dalam suatu diskusi, kita
mengeluarkan suatu pendapat yang kita percaya adalah yang paling benar,
kemudian tiba-tiba disanggah oleh orang lain dengan berbagai alasan yang logis
bahkan dari lubuk hati, kita juga membenarkan sanggahan orang tersebut, namun
tetap mempertahankan pendapat kita yang kita yakini paling benar tadi. Kemudian
diskusi itu terus menerus berlanjut dengan kita yang mengeluarkan berbagai
argumen untuk terkesan membenarkan pendapat kita. Diskusi ini pun kemudian
berubah atmosfer menjadi debat, bahkan berujung pada debat kusir. Apa yang
sebenarnya ingin kita raih dengan kelakuan tersebut? Ingin dikatakan idealis? Kalau
pemahaman kamu tentang idealis hanya sebatas mempertahankan pendapat yang
kebenarannya mampu dijatuhkan, maaf, tapi itu adalah pemahaman yang sempit.
Atau kasus lain, pada saat mengobrol santai dengan orang
lain, kemudian lawan bicara kita membicarakan topik tertentu. Misalnya dia
bicara tentang musik dangdut, kemudian kamu judge kampungan, atau yang bicara
seputar seks kemudian kamu anggap cabul, atau di wilayah fisik, kamu bertemu
dengan orang yang tattoan, gonrong, kemudian kamu anggap nakal, atau ketika
bertemu dengan orang yang berbeda agama atau bahkan tidak menganut agama apapun
lantas kamu jauhi, bro, ada yang perlu di ubah dari diri kamu. Bukan tampilan
ataupun topik pembicaraan mereka yang salah, tapi cara pandang kamu. Cara kamu
memandang mereka yang terlalu sempit. Lupakan soal strereotype masyarakat. Kamu tahu apa soal apa yang ada dalam diri
seseorang sampai berani menjustifikasi orang hanya dari satu sudut pandang? Bahkan,
orang yang bergelut dalam dunia psikologi yang pada dasarnya berkutat dalam
kepribadian manusia pun tidak berhak menjustifikasi siapapun.
Tulisannya kepanjangan yak. Masih kurang dari 1k word sih. Tapi
nanti pembaca pada kabur lagi. Jadi intinya sih, berusahalah menerapkan open minded ini dalam keseharian, tidak
bermaksud menggurui atau memaksa, karena saya juga masih berusaha untuk itu.
Lagipula tidak sulit kok, menghargai keberagaman. Menghargai bukan berarti menyetujui,
bukan? Menghargai suatu prinsip bukan berarti mengikuti prinsip tersebut,
bukan?
Sekian,
Teruntuk kalian yang tahun ini beranjak 20, tidak perlu lagi
ada drama tidak penting dalam hidupmu. Penuhi runtinitasmu dengan hal-hal yang
bermanfaat. Di usia ini, kamu punya andil besar untuk menentukan kemana akan
kamu bawa hidupmu kedepannya.
Hidup KPK !