with Yuliana Firman

Senin, 28 November 2016

Bisikan dari Hujan : Cengkraman Garuda

Terserah ingin kau hubungkan dengan apa hujan itu, entah kenangan atau genangan. Bagiku, hujanlah keindahan yang nyata~

www.qureta.com
Tak ada maksud mengagungkan hujan begitu berlebihan. Tapi di bulan-bulan akhir tahun ini, seperti dihipnotis, pesonanya semakin membuatku jatuh ke afeksi yang tidak terkendali. Mataku hanya mampu memandangi rinainya yang saling berkejaran, sementara ragaku kaku tak ingin beranjak, tak ada yang boleh mengganggu kemesraan yang kujalin dengan tetesan air dari langit itu. Tidak ada kenangan dan persetan dengan genangan. Bukan salah hujan, aku lebih senang menyalahkan lubang-lubang di jalanan beraspal yang rusak.

Sedikit informasi, Aku mampu berkomunikasi dengan hujan. Kau boleh menyebutku gila, tapi inilah yang ia sampaikan padaku :

-Hari ini Aku diutus untuk jatuh di sebuah negara. Sudah sering Aku jatuh ditempat itu. Tapi akhir-akhir ini rasanya suasana di tempat itu terasa mencekam. Aku tahu betul bagaimana kondisinya sejak negara itu masih terpecah belah, sebelum rakyatnya memberinya predikat ‘Merdeka’. Kau tahu, Aku kembali merasakan perasaan itu. Masa ketika setiap orang menempatkan ego di atas segalanya. Ketika masih ada sekat-sekat di antara mereka. Ketika belum ada lima sila yang dibacakan anak sekolah setiap hari senin di upacara bendera. Atau ketika belum ada burung garuda yang di pajang di atas papan tulis di ruangan kelas.

Aku ingat ketika Aku diutus beberapa minggu yang lalu. Aku mencoba memastikan apakah burung garuda yang dipajang itu masih berpegangan pada sebuah pita. Rinaiku merasa lega ketika cengkraman burung garuda pada pita itu masih terlihat begitu kuat. Aku hanya takut, ketika pita itu dilepas oleh burung garuda. Aku tidak ingin semboyan yang begitu indah yang tertulis di pita itu menghilang. Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu, katanya.

Ketika pita itu nyatanya masih dicengkram kuat, lantas mengapa rakyatnya terlihat begitu sensitif? Pembahasan mereka tidak lepas dari saling hujat, bertentangan, hingga saling membenarkan diri mereka masing-masing. Kaum mayoritas menyudutkan minoritas, sementara mereka yang minoritas dari sudut menodongkan perisai-perisai kedengkian.

Kau pasti setuju denganku wahai pemuda masa kini, ketika kukatakan bahwa sosial media dipenuhi dengan postingan-postingan konflik bernuansa SARA. Postingan itu kemudian dipenuhi komentar-komentar saling menjatuhkan satu sama lain. Tak ayal, kata-kata kasar bagai pedang yang mengoyak perasaan diluncurkan begitu saja. Seakan-akan papan ketik yang mereka gunakan dipahat dari neraka.

Mereka yang mengangung-agungkan pluralisme dan menyebutnya sebagai aset negeri ini mulai terlihat apatis. Bagaimana tidak? Ketika ia berada di golongan merah, ia disebut sebagai provokator kemudian ketika berada di golongan putih, ia mulai dianggap sebagai penista. Bahkan ketika netral pun ia masih di cap dengan predikat tidak menyenangkan. Lalu harus diapakan kondisi seperti ini? Haruskah berpura-pura tidak tahu? Rantai yang membelenggu dan menimbulkan sekat-sekat tidak akan hancur ketika orang-orang menolak untuk tahu.-

Itu yang hujan sampaikan padaku. Aku juga penasaran bagaimana kelanjutannya. Tapi rinainya berhenti tiba-tiba sebelum Aku sempat bertanya apa yang harus Aku perbuat berikutnya? Sebagai seorang mahasiswa yang awam, Aku hanya mampu mengartikannya sebagai bahan renungan. Bagaimana denganmu?

(sedikit catatan di sore yang bebas, tanpa tugas kuliah)
Read More

Rabu, 02 November 2016

Rasional Bukan Berarti Tanpa Rasa

Halo!
Selamat Tahun baru tahun depan!
For your information, sama halnya dengan postingan-postingan sebelumnya, tulisan ini dibuat dalam keadaan yang masih dalam taraf mencari tahu dan beberapa potong tempe. Jadi ketika ada hal-hal yang tidak bisa diterima oleh pembaca yang ilmunya jauh lebih mumpuni, maafkan keterbatasan ilmu yang penulis miliki.

Jangan tanya kenapa judulnya tiba-tiba keramat. Pakai kata rasional segala. Judul ini saya dapat dari seorang dosen yang di sela-sela memberikan kuliah tentang bagaimana menghadapi siswa kelas rendah, tiba-tiba mengeluarkan kalimat sepuitis “Rasional bukan berarti tanpa rasa”. Seketika kantuk saya hilang dan dengan sigap mengecek kaki dosen tersebut dan Alhamdulillah masih menyentuh lantai. Iya, takutnya beliau juga adalah dosen ghaib seperti yang booming baru-baru ini. Terimakasih Ibu dosen, setidaknya ada sedikit inspirasi untuk mengupdate blog yang sudah usang ini.

Memiliki kemampuan berpikir rasional merupakan suatu aset yang berharga bagi seonggok daging yang menyebut diri mereka manusia. Pemikiran rasional adalah cara berpikir menggunakan penalaran berdasarkan data yang tersedia untuk mencari kebenaran faktual, keuntungan dan tingkat kepentingan. Dalam kata rasional, barangkali sudah mencakup berbagai kata yang maknanya hampir sama, seperti kritis, analitis, bahkan mungkin idealis. Mungkin yaa (pemahaman saya belum sampai disitu)..

Mengapa saya mengatakan aset yang berharga? Karena ketika cara berpikir rasional diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang memiliki kemampuan berpikir rasional dengan baik, akan memiliki motivasi yang kuat terhadap segala sesuatu, baik saat belajar, bekerja, beraktivitas maupun saat mengalami kegagalan atau suatu tekanan. Apa yang perlu dipermasalahkan ketika sudah memiliki dasar atau keyakinan? Saat berhadapan dengan masalah apapun, pasti akan kembali ke seberapa logisnya masalah tersebut harus diselesaikan.

Wah, dua paragraf di atas cukup serius ya. Kalau diseriusin sampai paragraf ketiga, takutnya kepala saya berasap. Nah makanya beralih ke bagian lain dari judul, tentang ‘rasa’. Iya, bagaimanapun rasionalnya suatu hal, bukan berarti ia tidak memiliki rasa, bukan? Rasa yang saya maksud disini bukan rasa sapi panggang, original, rumput laut, ataupun anggur, melon, durian, apalagi sapi panggang campur durian. Bukan. Rasa yang saya maksud terkait dengan hal-hal yang tidak begitu membutuhkan nalar tapi lebih kepada naluri dan bukan berarti irasional. Ia tetap rasional hanya saja dibumbui dengan sedikit rasa.

Ikhlas, misalnya. Rasa ikhlas menurut saya bukan sebatas menyerahkan sesuatu kepada orang lain lantas berkata “ambil saja, saya ikhlas”. Ketika mengatakan hal yang terdengar baik itu, bukankah ada pamrih di dalamnya? Mengharapkan umpan balik seperti balas budi ataupun sesederhana ucapan terimakasih atau seulas senyum sekalipun bukankah itu termasuk meminta pamrih secara tidak langsung?

Contoh nyatanya bisa dilihat pada pesta-pesta demokrasi. Para wakil rakyat yang memberikan bantuan besar-besaran secara Cuma-Cuma ‘katanya’, lalu ujung-ujungnya berkata “ingat coblos nomor 999”. Apanya yang Cuma-Cuma? Cumi? Ataupun bos pada suatu perusahaan memberikan bonus mobil atau rumah kepada karyawannya dengan harapan karyawannya dapat bekerja lebih giat. Harapan itu juga termasuk meminta pamrih bukan? Bukankah ikhlas itu tanpa pamrih? Lalu ikhlas yang sebenarnya itu seperti apa?

Pernah tidak, Anda mampir di pom bensin mini di pinggir jalan dalam keadaan yang terburu-buru. Setelah mengisi bensin, mengeluarkan uang sepuluh ribu. Belum sempat diberikan kembalian dua ribu rupiah, Anda langsung tancap gas sambil berkata “ambil saja kembaliannya” kemudian kembali terburu-buru untuk sampai ke tujuan. Kemudian uang kembalian yang tadi tidak sempat Anda ambil terlupakan dalam sekejap. Tanpa pamrih, bukan? Itukah ikhlas?

Atau pernah tidak, Anda menjatuhkan sebuah penghapus bekas yang tadinya masih berwarna putih sekarang sudah berubah menjadi kecoklatan karena sudah terlalu sering digunakan untuk menghapus, entah itu menghapus tulisan, coretan, atau kenangan *eh*. Lantas penghapus itu dipungut oleh orang lain dan ia memintanya. Anda dengan masa bodoh berkata “ambil saja” lalu berkata dalam hati “lagipula itu sudah tidak kugunakan”. Anda memberikan hal yang sudah tidak berguna itu tanpa pamrih, bukan? Itukah ikhlas?
Kalau kasus uang kembalian dua ribu rupiah dan penghapus bekas yang mungkin tidak ada nilainya bagi pemberi dijadikan ukuran keihlasan, bukankah terlalu mengkerdilkan makna keikhlasan itu sendiri? Jadi ikhlas itu seperti apa, wahai rasionalis? Bukan hanya rasa ikhlas, Rasa lain seperti ketulusan, yang saya rasa tidak perlu dianalogikan seperti rasa ikhlas diatas, karena ketika berbicara tentang tulus, takutnya banyak yang baper. Tahu tulus kan? Penyanyi solo yang punya lagu sepasang pentofel ituu. Bukan. Bukaan.

Sebenarnya apa yang coba saya sampaikan dari tulisan ini? Ada hal-hal yang tidak perlu terlalu dihubungkan dengan nalar. Ia lebih membutuhkan naluri, dorongan dari hati. Tanpa perlu akal ikut andil di dalamnya. Keikhlasan, ketulusan, kasih sayang, dan hal-hal lain sejenisnya yang tidak perlu dipelajari. Mereka hadir secara alamiah dalam diri seorang manusia. Ketikapun Rasionalitas turut andil di dalamnya, ia hadir sebagai penguat bukannya menimbulkan keragu-raguan pada diri seseorang. Alangkah lebih baiknya ketika Rasional disertai rasa ditanamkan dalam diri manusia. Ketika sisi keras pada setiap orang disatukan dengan hati nuraninya, Kemanusiaan akan menjadi hal yang lumrah diagung-agungkan diberbagai belahan dunia.
aquariuslearning.co.id

Cukup sekian. Dapat atau tidak maknanya, semua kembali kepada pembaca sekalian. Btw, di bawah ada kolom komentar. Silahkan berkomentar atau berikan sedikit saran topik yang menarik untuk diulas kedepannya. Blog ini jarang di update karena kekurangan topik. Karena yang punya blog hidupnya terlalu datar. Tapi bumi tetap bulat.

Hidup Bumi Bulat!
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates