with Yuliana Firman

Sabtu, 31 Desember 2022

Residu Resolusi

Aku mencarimu sepanjang tahun, ingin kutanyakan beberapa hal :

Sepanjang tahun ini, berapa poin dari bucket list yang berhasil terpenuhi? adakah dinamika yang membuat prinsipmu goyah? Atmosfer mana yang membuatmu berhasil beradaptasi? Kota mana yang paling sering kamu kunjungi? Luka mana yang berhasil kamu sembuhkan? Makanan apa yang paling sering kamu pesan? Ah, senangnya jika bisa mendengar kisahmu tahun ini yang jika ia adalah spektrum, Aku yakin warnanya akan jauh lebih indah dari pelangi.

Sayangnya, tidak kutemui sosokmu dimanapun. Pada hal-hal yang datang dan pergi, ranting-ranting kayu yang patah di pinggir jalan, tembok dengan cat terkelupas di tengah kota, kesibukan-kesibukan akhir tahun, bahkan di fitur terbaru instagram. Aku mencarimu sebanyak itu dan jejakmu tidak kutemukan dimanapun. Dan aku makin menyadari bahwa: hal-hal yang tidak pernah dimulai adalah yang paling mungkin menjadi abadi. Sepertimu, dalam pencarianku.

Dimanapun saat ini Kamu berada, Aku ingin bercerita.



Kaleidoskop 2022

Aku bertemu banyak jenis manusia tahun ini. Mungkin mereka sudah lupa denganku, Tapi di dalam kepalaku mereka terekam jelas, menjadi memori yang selalu kubawa sepanjang tahun. Tidak semua ingin kukenalkan padamu. Hanya satu dua orang.

Pertama, biar kukenalkan dengan Nara; seseorang yang kutemui pada pertengahan Januari. Aku pertama kali bertemu Nara secara virtual waktu itu. Biasanya berinteraksi lewat zoom meeting selalu membosankan, bukan? Tapi, dengan Nara Aku tidak merasa bosan sama sekali. Dia cantik sekali, wajahnya teduh. Kau pasti akan sepakat denganku kali ini. Mata keranjangmu tidak akan sanggup menepis binar matanya yang menawan. Kami(Aku, Nara,dan empat orang lainnya) rutin zoom meeting tiga sampai empat kali sebulan selama tiga bulan. Semacam evaluasi rutin untuk calon karyawan yang WFH. Di bulan kedua, Aku mengajak Nara bertemu secara langsung meskipun masih harus mengenakan masker karena bulan Februari waktu itu, kasus covid bertambah 36.501 orang dan berhasil meraih angka 4.844.279 kasus sejak awal kemunculannya. Apalagi, katanya muncul varian baru, kan? Tapi, apapun variannya, solusinya tetap lockdown abal-abal. Ups.

Kembali ke Nara. Aku akhirnya bertemu Nara! Seharusnya kuajak kamu waktu itu. Keindahannya real no efek. Aku yang penuh effort untuk tampil cantik ini kalah telak dengan riasan sederhananya. Kami memulai interaksi dengan topik seputar pekerjaan kemudian lama kelamaan kami saling terbuka mengenai kehidupan pribadi masing-masing. Aku semakin takjub, Nara adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dua adiknya masih kuliah, satu lagi masih balita. Kedua orang tuanya menggeluti usaha kecil-kecilan yang jika dihitung keuntungannya dalam sebulan hanya cukup untuk membeli susu formula adiknya yang bungsu. Keperluan rumah yang lain? Itu urusan Nara. Keperluan perkuliahan kedua adiknya? Tentu masih urusan Nara juga. Katamu, gajiku sejak awal bekerja cukup banyak, kan? Tapi, bagi Nara jauh dari cukup. Nara hanya menikmati 12% dari gajinya untuk dirinya sendiri. Sisanya, yang tentu lebih besar diberikan untuk keluarga. Aku takjub membayangkan sekuat apa bahu Nara.

Kamu harus melihat senyum di wajah Nara saat menceritakan semua beban itu. Ketulusan yang membuatku bergidik, tanpa ada keluh kesah dari tuturnya yang lembut. Bahkan ketika Aku dengan tidak tahu malu bertanya “mengapa bisa sekuat itu?”, Nara menjawab ringan “aku sudah terbiasa dengan pemakluman”. Sejak pertemuan hari itu, Aku memandang Nara dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sekedar Nara yang cantik tapi juga sebuah sayap besar terkungkung di bahunya yang ramping.

Bulan keenam, Aku kembali bertemu Nara. Kali ini tanpa masker karena benda insidentil itu sudah boleh dilepaskan di ruang terbuka. Kali ini kami bertemu bukan karena pekerjaan. Sekedar ingin tahu kabar masing-masing. Seperti sebelumnya, Nara mendengarku dengan baik terlebih dahulu. Satu lagi poin plusnya, Nara adalah pendengar yang baik. Kemudian, Nara bercerita tentang rutinitasnya selama WFO, harus berangkat dari rumahnya pukul 6 dan pulang ketika gelap tiba. Lalu, bagai perayaan duka, Nara bercerita sebelum kesini, ia tadi di kantor polisi. Katanya, ia menanyakan kejelasan soal kasus pelecehan dan kekerasan yang dialaminya oleh mantan rekan kerjanya satu tahun yang lalu. Nara tidak menyerah dengan kasus itu meskipun tak pernah ada keadilan, karena katanya lagi : ia sudah terbiasa dengan pemakluman. Meskipun, sampai hari ini Nara selalu menghindari lelaki dengan bau rokok (sayang sekali, Kamu tereliminasi). Nara, meskipun suaranya bergetar, sorot matanya tidak goyah. Mustahil menjadi Nara, menurutku ada yang terasa asing meski kami sudah berinteraksi selama setengah tahun.

Sejak hari itu, Aku tidak lagi bertemu Nara, karena kami harus berada di tim yang berbeda. Tapi, bayang-bayang Nara yang cantik dengan sayap besar yang terkungkung di bahunya yang ramping itu, masih melekat jelas. Dari Nara, Aku belajar tentang penerimaan. Manusia yang terbiasa dengan pemakluman bisa menjadi setegar Nara. Aku ingin berhenti mengeluhkan hal-hal remeh yang masih bisa kumaklumi: hujan deras ketika ingin berangkat, gaji yang menguap di akhir bulan, jaringan yang lemot, kehabisan tiket konser, antrian panjang di depan kasir, chat yang lama dibalas, makanan yang kurang enak, minuman yang tumpah padahal masih banyak, AC ruangan yang mati, jalanan yang macet, matahari yang bersinar terik, ban motor yang pecah, dan hal-hal remeh lain yang banyak kukeluhkan sepanjang tahun ini. Meski tidak sekuat Nara, Aku ingin belajar memaklumi.

Kedua, Aku ingin mengenalkanmu dengan Duma. Aku bertemu dengannya awal Mei, waktu itu Aku mudik ke kampungku yang jaringannya hanya 2G itu, beruntungnya Aku di mudik kali ini karena meski tidak bisa mengakses dunia maya disana, Aku bisa berkenalan dengan dunia Duma. Duma seorang lelaki yang bertubuh jenjang, sedikit bungkuk, dan agak kurus. Ia selalu mengenakan topi dengan posisi terbalik, terkadang mengenakan sepatu, kadang juga sandal jepit kebesaran, berjalan dengan carrier besar di punggungnya, entah apa isinya. Mungkin peralatan untuk bertahan hidup.

Duma ini manusia nomaden, hampir setiap sudut di negeri ini telah ia datangi. Katanya, ia hanya sedang berjalan menuju pulang. Ia punya rumah, tentu saja. Tapi, ketika orang-orang mudik ke rumah masing-masing untuk liburan saat lebaran, ia tidak pulang ke rumahnya. Duma justru duduk di atas mobil pick up pengangkut rumput gajah bersama Aku dan pamanku yang duduk di jok depan. Duma ingin menumpang sampai ke perbatasan, katanya Ia ingin masuk. Masuk bagi orang-orang di kampungku adalah masuk ke pedalaman yang lebih dalam. Tidak ada akses jalan, bahkan pejalan kaki bisa kecelakaan tanpa mengendarai apapun. Bahkan, pegawai negeri sipil yang ditempatkan disana hanya masuk dua kali dalam sebulan. Aku belum pernah masuk, hanya mendengar pengalaman orang-orang. Konon, pendatang yang sudah pernah masuk, tidak pernah ingin masuk lagi untuk yang kedua kalinya. Namun kata pamanku, Duma sudah berkali-kali menumpangi mobilnya ke perbatasan untuk masuk. Tujuannya kali ini adalah membantu warga disana untuk membangun mushollah. Duma berjanji bahwa lebaran kali ini, untuk pertama kalinya warga akan sholat ied di musholah. Duma bahkan lebih mahir menyenangkan hati rakyat dibanding para wakil rakyat. Ups.

Perjalanan menuju perbatasan hampir empat jam lamanya, Duma turun untuk berjalan kaki sekitar satu setengah jam lagi. Sendal jepitnya ia ganti dengan sepatu gunung. Duma menjabat tangan paman dan Aku. Memberiku gelang simpai, karena ia baru saja pulang dari Kalimantan. Duma juga punya satu simpai di lengannya, berjejer dengan gelang-gelang lain. Gelang simpai biasanya dianyam langsung di lengan, tapi katanya ia menyiapkan satu gelang simpai sebagai kenang-kenangan dan ia berikan untukku. Gelang dari akar tanaman jangang itu masih kupakai sampai sekarang. Pun sosok Duma, masih kurekam dan kumaknai cerita hidupnya. Ia hidup untuk menghidupi. Tidak pernah menetap namun menebar manfaat. Meski tidak semulia Duma, Aku juga ingin menebar manfaat. Sesederhana membuang sampah pada tempatnya, memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih tua, menahan pintu atm untuk orang lain, memindahkan anak kucing dari tengah jalan, memberi tip untuk driver ojol, tidak menawar jualan pedagang kecil, saat berkendara memberi kesempatan pejalan kaki untuk melintas, dan hal-hal kecil lain. Hal-hal besar tidak selalu lahir dari pekerjaan besar, bukan? Ada kalanya, hal besar lahir dari hal-hal kecil yang terlihat sepele. Meski tidak semulia Duma, Aku juga ingin menjadi bermakna.

Ketiga, Aku ingin mengenalkanmu kepada dirimu sendiri. Manusia yang punya banyak sekali urusan dalam kepalanya. Bagaimana bentuk bahagia terakhir dalam ingatanmu? Apakah mampu mengalahkan deretan prasangka yang belum tentu terjadi itu? Serupa sunyi yang dibiarkan berlarut-larut, kamu bisa saja dibuat kebas oleh sepi. Sudah sampai mana kamu berkemas? Sudahkah kau rapikan memori yang berantakan di penghujung Agustus? Apakah kopermu masih muat menampung kegagalan di awal Oktober? Lalu, akan kau apakan duka-duka Januari hingga Maret?

Di penghujung tahun ini kepalamu penuh dengan urusan, kedua tanganmu tidak kalah sibuk. Tangan kananmu menggenggam koper, sementara di tangan kirimu terlihat selembar tiket menuju tahun berikutnya. Di punggungmu ada ransel berisi harapan-harapan, tidak berada dalam genggamanmu, tapi untuk melepasnya, kau juga harus melepas koper dan tiket di kedua tanganmu terlebih dahulu. Lihatlah, betapa berpengaruhnya harapan dan doa-doa. Ekspektasimu terhadap tahun berikutnya tidak harus litotes ataupun hiperbolis, kamu cukup menjalaninya dengan keberanian. Seperti Nara yang penuh penerimaan dan Duma yang penuh pemaknaan. Juga dirimu, yang penuh keberanian.

Kepadamu Aku hanya ingin berpesan : betapapun pandainya kita berkemas, akan selalu ada hal yang tertinggal. Kita hanya perlu belajar menerima.

Demikian, Kaleidoskopku menjelma Resolusi.

 

Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates