“Jadi, bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya?”
Ahmad meletakkan cangkulnya, duduk bersandar pada sebatang pohon yang tidak terlihat keramat sama sekali. Masih memikirkan jawaban pertanyaan dari wanita di layar ponsel pintarnya.
“Makhluk hidup lainnya?”
“Ya. Selama ini kan kamu bertetangga dengan robot-robot kapitalis”
“Heh. Mulutmu Ratna!”
Ratna tertawa di atas tempat tidurnya, memutuskan bangkit untuk menyalakan lampu kamar agar wajahnya terlihat lebih cerah di layar.
“Kamu pernah lihat padi dari jarak dekat?” Ahmad diam sebentar, memperhatikan sebatang padi di genggamannya.
“Maksudku, Aku baru tahu tekstur padi seperti ini, wanginya semenenangkan ini”
“Kau tidak sedang melebih-lebihkan, bukan?”
“Selama ini Aku makan nasi dengan buas tanpa pernah tahu secara spesifik bagaimana bentuk kulitnya. Sekarang Aku bahkan baru saja menanam padi”
“Sebuah pencapaian!”
Ratna berteriak antusias. Ia meletakkan ponselnya untuk bertepuk tangan.
“Ya kan? Apa seharusnya Aku pindah jurusan saja, Na? Sepertinya Aku lebih cocok di jurusan pertanian dibanding Hubungan Internasional”
“Sepertinya lebih baik kita ganti topik, Kamu mulai terdengar aneh” Ratna memperhatikan pohon di belakang Ahmad. “Atau sepertinya kamu harus pindah tempat”
“Kamu yakin tidak ingin mudik?”
Ahmad menyalakan sebatang rokok yang hampir patah dari sakunya.
“Lalu dikarantina? Big No!”
“Come on, cuma 14 hari kok” Ahmad melepas topinya, rambutnya basah oleh keringat. “Lagipula tempat karantinaku kemarin free wifi”
“Kampungku bahkan tidak tersentuh jaringan 2G. Karantina dengan fasilitas tidak memadai sama dengan cari mati”
“Then, just doing self quarantine”
“Ahmad, dengar ya” Ratna bangun dan mengubah posisinya yang tadinya berbaring menjadi duduk rapi, terlihat serius. Ahmad menaikkan volume speakernya. “Setiap orang punya caranya masing-masing menghadapi pandemi ini untuk bertahan hidup. Dan caraku adalah dengan tidak kemana-mana”
Ahmad diam sebentar, lalu merasa gerah dan mengipas-ngipaskan topinya. Bersyukur cara yang dilakukan Ratna masih dalam kategori normal.
“Tadi adikku mengirim pesan, ia sedang berada di pasar. Aktivitas warga di kampungku tetap normal seperti tidak terjadi apa-apa”
Ratna mengacak rambutnya frustasi, memikirkan keluarganya yang sama apatisnya dengan warga lainnya. Ia kembali berbaring.
“Mereka juga sedang mencoba bertahan hidup”
Ahmad mengubah tampilan kameranya menjadi kamera belakang, terlihat orang-orang dengan pakaian menutupi seluruh badan, celana panjang penuh lumpur dan baju partai. Beberapa pria memakai topi dan wanita mengenakan kerudung sebagai penutup kepala sekedar untuk melindungi diri dari sinar matahari dan kadang hujan. Semuanya terlihat bekerja keras dengan peluh yang membasahi punggung.
“Mereka lebih takut mati kelaparan”
Ratna menghela nafas. Senyum ceria yang ia tampilkan saat Ahmad mengangkat panggilan videonya tadi kini berubah murung.
“Sepertinya sekarang Aku yang ingin ganti topik” Ahmad menyadari perubahan mood Ratna yang menandakan bahaya.
“Kamu ingat mantra Harry saat melawan dementor?” Tanya Ratna.
Ahmad berpikir sejenak, mengingat kembali beberapa mantra yang ada dalam film kesukaan Ratna itu.
“Expecto Patronum?”
“Ya!” Ratna bangkit lagi dari pembaringannya. Kali ini ia duduk di kursi belajar. Mengambil sebuah buku. “Mantra itu menghasilkan patronus, satu-satunya makhluk yang bisa mengusir dementor. Kalau dari bahasa latin, Expecto artinya berharap, patronus artinya pelindung. Mantra itu artinya mengharapkan datangnya pelindung”
Ratna meletakkan bukunya, terlihat berpikir.
Ahmad mulai risau, biasanya jika Ratna mulai berpikir, segala hal absurd ada disana, di dalam kepalanya.
Kamu mau kan temani Aku ke masa depan kalau mesin waktu benar-benar ada?
Tahun depan setelah lulus, Aku ingin mencoba cara tercepat sampai ke bulan.
Ahmad, seharusnya sayap malaikat pernah rontok sesekali, kan?
Aku akan menjadi peracik parfum dengan aroma petrikor. Kamu harus jadi pembeli pertama!
“Ratna?”
“Aku akan mempelajari mantra semacam Experto Patronum. Tapi bukan untuk mengusir dementor. Aku ingin mengusir segala hal-hal buruk di dunia ini. Salah satunya pandemi ini. Menurutmu kuberi nama mantra apa jika sudah kutemukan?” Ratna bertanya sungguh-sungguh, tanpa sedikitpun ada niat bercanda.
Ahmad mengusap wajahnya frustasi. Wanita dua puluh satu tahun yang ia sebut sahabat itu tidak pernah berubah. Pikirannya adalah tanah lapang dengan beraneka macam buah tanpa bisa dipetik, tak bertuan dan tidak satupun yang boleh membatasinya untuk tumbuh. Satu-satunya hal yang membuat Ahmad bertahan untuk tetap mendengarkan isi kepala Ratna adalah karena tidak satupun yang ingin mendengarnya selain Ahmad. Meskipun itu seharusnya bukan sebuah alasan.
Ahmad mulai menyesal membahas tentang “mati kelaparan”. Ratna selalu peka dengan isu isu sosial. Bahkan terlalu peka hingga solusi yang ia tawarkan selalu tidak masuk akal.
“Sudah dulu ya, Ahmad. Aku akan mencoba membuat mantra!” Ratna mengarahkan telunjuknya ke udara "Avada Kedavra!"
Video call berakhir dengan Ahmad yang was-was dengan apa yang akan dilakukan Ratna.