"Kalau capek, istirahat"
Dua tahun yang lalu, Aku menganggap kalimat itu tidak lebih dari sekedar basa-basi dari seorang laki-laki bermulut manis dan lumayan puitis. Aku sering membaca puisi-puisi dan tulisannya. Tapi, menurutku kalimatnya kali ini tidak cukup puitis. "Ah, mungkin ia sedang kehabisan topik" Pikirku. Kubalas seadanya. "Iya".
Pada dasarnya Aku memang kepala batu. Tidak satupun kata tentang istirahat yang kubiarkan terealisasi. Aku punya tujuan, Aku harus sampai disana. Istirahat hanya kata yang serumpun dengan malas. Sampai lelaki itu tidak lagi rutin berkabar, Aku masih tidak berminat untuk berkenalan dengan istirahat.
"Belum waktunya, tujuanku belum tercapai". Pikirku.
Aku berhasil meraih gelar dengan nilai yang lumayan manis. Setelah lulus, aku bersyukur bisa langsung mendapat kesempatan mengaplikasikan apa yang kudapat di bangku kuliah ke kehidupan nyata. Kesempatan yang tidak ingin Aku lewatkan.
Beberapa pencapaian telah ada di depan mata. Sudah sangat nyaman dengan suasana baru di tempat baru, sangat mendukung untuk mengembangkan diri karena wilayah kerja sesuai dengan gelar. Anehnya, Aku merasa ada yang tidak beres. Aku jadi lebih mudah bersin padahal sebelumnya tidak kehujanan, tidak minum es, ataupun berinteraksi dengan debu. Tiba-tiba terlalu mudah lelah bahkan ketika aktivitasku tidak lebih padat dari sebelumnya. Bahkan, gigitan nyamuk di lengan dan kaki terkesan berlebihan. Lebih merah dari biasanya dan tidak kunjung hilang. Demam setiap sore dan sembuh di siang hari lalu kembali demam di sore hari. Aku mulai kebingungan dengan suhu tubuhku sendiri. "Tahan, masih banyak yang perlu dicapai" lagi-lagi Aku memotivasi diri sendiri.
Beruntung, Aku punya waktu untuk pulang. Naluri Ibu memang selalu akurat. Tidak lama setelah sampai di rumah, tubuhku mulai menampakkan tanda-tanda menyerah. Seakan memintaku berhenti. Bukan istirahat, tapi berhenti. Diagnosis awal dokter membuat sekujur tubuhku membeku. Penyakit yang hanya kudengar dari sinetron itu, didiagnosis ada pada tubuhku. Saat itu juga, Aku pasrah.
Keberuntungan yang lain, setelah menjadi penghuni salah satu ruangan di rumah sakit, diberi kesempatan untuk menikmati fasilitas infus dan sajian obat-obatan, hasil tes darahku keluar. Diagnosis awal dokter ternyata keliru. Ya, namanya juga diagnosis awal. Wajar. Aku bersyukur tentu saja.
Sekaligus bingung. Terlalu bingung mengetahui vonis penyakit yang dikatakan dokter. Nama penyakit yang baru pertama kali kudengar. Bahkan, sampai hari ini Aku belum bisa menyebut nama penyakit itu dengan benar. Kalau ada teman yang bertanya Aku sakit apa, kutuliskan nama penyakit itu kemudian berkata "Penjelasannya ada di google" saking bingungnya. "Doakan lekas sembuh" Lanjutku.
Aku keluar dari rumah sakit dengan sedikit memaksa. "Aku ingin ikut wisuda". Mungkin karena iba atau Aku memang sudah bisa dibiarkan berkeliaran, dokter mengizinkan pulang dengan jaminan : Aku tidak boleh kelelahan, harus banyak-banyak istirahat, jangan stres. Aku wisuda dengan kedua tangan bengkak dan masih ada bekas infus disana.
Aku bersyukur tentu saja.
Setelah keluar dari rumah sakitpun, Aku harus rajin kontrol tiap minggu. Minum obat tiga kali sehari. Saking seringnya minum obat, Aku sudah bisa menikmati pahitnya. Ya, seperti pecandu kopi mungkin. Bedanya, Aku menikmatinya bukan dengan senja, tapi segelas air putih.
Setiap kali check up, kata istirahat selalu keluar dari mulut dokter. Sampai Aku hafal di bagian mana dari sesi check up tersebut kata istirahat itu diucapkan. Tidak hanya di mulut dokter, kata istirahat itu juga mulai menjadi ikrar yang diucapkan Ibu. Seperti janji siswa di upacara bendera muridku. Bedanya, Ibu mengucapkannya setiap kali melihatku. Bayangkan betapa kata istirahat itu sudah melekat dalam sanubariku.
Kata istirahat itu menghantuiku sampai enam bulan lamanya. Tidak ada aktifitas produktif yang bisa kulakukan selain rebahan dan menikmati pahitnya obat yang sudah tidak terasa pahit. Setidaknya Aku punya keahlian baru : minum beberapa obat dalam sekali telan. Apakah bisa disebut keahlian? Bisa, karena sebelumnya Aku amatir dalam hal obat-obatan.
Keahlianku berikutnya adalah merenung. Betapa selama ini Aku telah berbuat jahat pada tubuhku sendiri. Aku ingin memenuhi ambisiku, namun tidak memperhatikan tubuhku. Andai bisa bicara, mungkin tubuhku sudah menangis meraung-raung dan menyumpahiku. Selama ini, Aku tidak tahu bahwa tubuhku juga punya batas. Aku manusia biasa. Bukan spongebob.
Sekarang? Apakah semua mimpi dan tujuan yang membuatku memaksa tubuhku bekerja untuk mencapainya bisa kuraih? Jawabannya, Aku harus memendam dan merelakan beberapa tujuan tidak tercapai. "Andai Aku bisa lebih memperhatikan tubuhku, mampu menerima sinyal-sinyal menyerah dari tubuhku, dan mendengar lelaki bermulut manis itu, mungkin Aku masih bisa mencapai segalanya secara perlahan". Segala kalimat yang dimulai dengan andai biasanya hanya berupa penyesalan. Ya, dan Aku menyesal.
Apa kesimpulannya?
Selama kamu masih menyadari bahwa kamu manusia, kamu harus tahu batas. Batas dari tubuhmu. Betapapun sehatnya kamu, tubuhmu pasti punya batas. Bukan hanya fisikmu, pikiranmu juga. Kelelahan bukan cuma dialami fisikmu, isi kepalamu juga butuh istirahat. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Tujuanmu penting. Tapi, kesehatanmu jauh lebih penting. Tidak ada tujuan yang tercapai tanpa tubuh yang sehat.
"Kalau capek, istirahat"
Read More
Dua tahun yang lalu, Aku menganggap kalimat itu tidak lebih dari sekedar basa-basi dari seorang laki-laki bermulut manis dan lumayan puitis. Aku sering membaca puisi-puisi dan tulisannya. Tapi, menurutku kalimatnya kali ini tidak cukup puitis. "Ah, mungkin ia sedang kehabisan topik" Pikirku. Kubalas seadanya. "Iya".
Pada dasarnya Aku memang kepala batu. Tidak satupun kata tentang istirahat yang kubiarkan terealisasi. Aku punya tujuan, Aku harus sampai disana. Istirahat hanya kata yang serumpun dengan malas. Sampai lelaki itu tidak lagi rutin berkabar, Aku masih tidak berminat untuk berkenalan dengan istirahat.
"Belum waktunya, tujuanku belum tercapai". Pikirku.
Aku berhasil meraih gelar dengan nilai yang lumayan manis. Setelah lulus, aku bersyukur bisa langsung mendapat kesempatan mengaplikasikan apa yang kudapat di bangku kuliah ke kehidupan nyata. Kesempatan yang tidak ingin Aku lewatkan.
Beberapa pencapaian telah ada di depan mata. Sudah sangat nyaman dengan suasana baru di tempat baru, sangat mendukung untuk mengembangkan diri karena wilayah kerja sesuai dengan gelar. Anehnya, Aku merasa ada yang tidak beres. Aku jadi lebih mudah bersin padahal sebelumnya tidak kehujanan, tidak minum es, ataupun berinteraksi dengan debu. Tiba-tiba terlalu mudah lelah bahkan ketika aktivitasku tidak lebih padat dari sebelumnya. Bahkan, gigitan nyamuk di lengan dan kaki terkesan berlebihan. Lebih merah dari biasanya dan tidak kunjung hilang. Demam setiap sore dan sembuh di siang hari lalu kembali demam di sore hari. Aku mulai kebingungan dengan suhu tubuhku sendiri. "Tahan, masih banyak yang perlu dicapai" lagi-lagi Aku memotivasi diri sendiri.
Beruntung, Aku punya waktu untuk pulang. Naluri Ibu memang selalu akurat. Tidak lama setelah sampai di rumah, tubuhku mulai menampakkan tanda-tanda menyerah. Seakan memintaku berhenti. Bukan istirahat, tapi berhenti. Diagnosis awal dokter membuat sekujur tubuhku membeku. Penyakit yang hanya kudengar dari sinetron itu, didiagnosis ada pada tubuhku. Saat itu juga, Aku pasrah.
Keberuntungan yang lain, setelah menjadi penghuni salah satu ruangan di rumah sakit, diberi kesempatan untuk menikmati fasilitas infus dan sajian obat-obatan, hasil tes darahku keluar. Diagnosis awal dokter ternyata keliru. Ya, namanya juga diagnosis awal. Wajar. Aku bersyukur tentu saja.
Sekaligus bingung. Terlalu bingung mengetahui vonis penyakit yang dikatakan dokter. Nama penyakit yang baru pertama kali kudengar. Bahkan, sampai hari ini Aku belum bisa menyebut nama penyakit itu dengan benar. Kalau ada teman yang bertanya Aku sakit apa, kutuliskan nama penyakit itu kemudian berkata "Penjelasannya ada di google" saking bingungnya. "Doakan lekas sembuh" Lanjutku.
Aku keluar dari rumah sakit dengan sedikit memaksa. "Aku ingin ikut wisuda". Mungkin karena iba atau Aku memang sudah bisa dibiarkan berkeliaran, dokter mengizinkan pulang dengan jaminan : Aku tidak boleh kelelahan, harus banyak-banyak istirahat, jangan stres. Aku wisuda dengan kedua tangan bengkak dan masih ada bekas infus disana.
Aku bersyukur tentu saja.
Setelah keluar dari rumah sakitpun, Aku harus rajin kontrol tiap minggu. Minum obat tiga kali sehari. Saking seringnya minum obat, Aku sudah bisa menikmati pahitnya. Ya, seperti pecandu kopi mungkin. Bedanya, Aku menikmatinya bukan dengan senja, tapi segelas air putih.
Setiap kali check up, kata istirahat selalu keluar dari mulut dokter. Sampai Aku hafal di bagian mana dari sesi check up tersebut kata istirahat itu diucapkan. Tidak hanya di mulut dokter, kata istirahat itu juga mulai menjadi ikrar yang diucapkan Ibu. Seperti janji siswa di upacara bendera muridku. Bedanya, Ibu mengucapkannya setiap kali melihatku. Bayangkan betapa kata istirahat itu sudah melekat dalam sanubariku.
Kata istirahat itu menghantuiku sampai enam bulan lamanya. Tidak ada aktifitas produktif yang bisa kulakukan selain rebahan dan menikmati pahitnya obat yang sudah tidak terasa pahit. Setidaknya Aku punya keahlian baru : minum beberapa obat dalam sekali telan. Apakah bisa disebut keahlian? Bisa, karena sebelumnya Aku amatir dalam hal obat-obatan.
Keahlianku berikutnya adalah merenung. Betapa selama ini Aku telah berbuat jahat pada tubuhku sendiri. Aku ingin memenuhi ambisiku, namun tidak memperhatikan tubuhku. Andai bisa bicara, mungkin tubuhku sudah menangis meraung-raung dan menyumpahiku. Selama ini, Aku tidak tahu bahwa tubuhku juga punya batas. Aku manusia biasa. Bukan spongebob.
Sekarang? Apakah semua mimpi dan tujuan yang membuatku memaksa tubuhku bekerja untuk mencapainya bisa kuraih? Jawabannya, Aku harus memendam dan merelakan beberapa tujuan tidak tercapai. "Andai Aku bisa lebih memperhatikan tubuhku, mampu menerima sinyal-sinyal menyerah dari tubuhku, dan mendengar lelaki bermulut manis itu, mungkin Aku masih bisa mencapai segalanya secara perlahan". Segala kalimat yang dimulai dengan andai biasanya hanya berupa penyesalan. Ya, dan Aku menyesal.
Apa kesimpulannya?
Selama kamu masih menyadari bahwa kamu manusia, kamu harus tahu batas. Batas dari tubuhmu. Betapapun sehatnya kamu, tubuhmu pasti punya batas. Bukan hanya fisikmu, pikiranmu juga. Kelelahan bukan cuma dialami fisikmu, isi kepalamu juga butuh istirahat. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Tujuanmu penting. Tapi, kesehatanmu jauh lebih penting. Tidak ada tujuan yang tercapai tanpa tubuh yang sehat.
"Kalau capek, istirahat"