with Yuliana Firman

Kamis, 25 Juni 2020

Limit

"Kalau capek, istirahat"

Dua tahun yang lalu, Aku menganggap kalimat itu tidak lebih dari sekedar basa-basi dari seorang laki-laki bermulut manis dan lumayan puitis. Aku sering membaca puisi-puisi dan tulisannya. Tapi, menurutku kalimatnya kali ini tidak cukup puitis. "Ah, mungkin ia sedang kehabisan topik" Pikirku. Kubalas seadanya. "Iya".
Pada dasarnya Aku memang kepala batu. Tidak satupun kata tentang istirahat yang kubiarkan terealisasi. Aku punya tujuan, Aku harus sampai disana. Istirahat hanya kata yang serumpun dengan malas. Sampai lelaki itu tidak lagi rutin berkabar, Aku masih tidak berminat untuk berkenalan dengan istirahat.
"Belum waktunya, tujuanku belum tercapai". Pikirku.

Aku berhasil meraih gelar dengan nilai yang lumayan manis. Setelah lulus, aku bersyukur bisa langsung mendapat kesempatan mengaplikasikan apa yang kudapat di bangku kuliah ke kehidupan nyata. Kesempatan yang tidak ingin Aku lewatkan.
Beberapa pencapaian telah ada di depan mata. Sudah sangat nyaman dengan suasana baru di tempat baru, sangat mendukung untuk mengembangkan diri karena wilayah kerja sesuai dengan gelar. Anehnya, Aku merasa ada yang tidak beres. Aku jadi lebih mudah bersin padahal sebelumnya tidak kehujanan, tidak minum es, ataupun berinteraksi dengan debu. Tiba-tiba terlalu mudah lelah bahkan ketika aktivitasku tidak lebih padat dari sebelumnya. Bahkan, gigitan nyamuk di lengan dan kaki terkesan berlebihan. Lebih merah dari biasanya dan tidak kunjung hilang. Demam setiap sore dan sembuh di siang hari lalu kembali demam di sore hari. Aku mulai kebingungan dengan suhu tubuhku sendiri. "Tahan, masih banyak yang perlu dicapai" lagi-lagi Aku memotivasi diri sendiri.

Beruntung, Aku punya waktu untuk pulang. Naluri Ibu memang selalu akurat. Tidak lama setelah sampai di rumah, tubuhku mulai menampakkan tanda-tanda menyerah. Seakan memintaku berhenti. Bukan istirahat, tapi berhenti. Diagnosis awal dokter membuat sekujur tubuhku membeku. Penyakit yang hanya kudengar dari sinetron itu, didiagnosis ada pada tubuhku. Saat itu juga, Aku pasrah.

Keberuntungan yang lain, setelah menjadi penghuni salah satu ruangan di rumah sakit, diberi kesempatan untuk menikmati fasilitas infus dan sajian obat-obatan, hasil tes darahku keluar. Diagnosis awal dokter ternyata keliru. Ya, namanya juga diagnosis awal. Wajar. Aku bersyukur tentu saja.
Sekaligus bingung. Terlalu bingung mengetahui vonis penyakit yang dikatakan dokter. Nama penyakit yang baru pertama kali kudengar. Bahkan, sampai hari ini Aku belum bisa menyebut nama penyakit itu dengan benar. Kalau ada teman yang bertanya Aku sakit apa, kutuliskan nama penyakit itu kemudian berkata "Penjelasannya ada di google" saking bingungnya. "Doakan lekas sembuh" Lanjutku.

Aku keluar dari rumah sakit dengan sedikit memaksa. "Aku ingin ikut wisuda". Mungkin karena iba atau Aku memang sudah bisa dibiarkan berkeliaran, dokter mengizinkan pulang dengan jaminan : Aku tidak boleh kelelahan, harus banyak-banyak istirahat, jangan stres. Aku wisuda dengan kedua tangan bengkak dan masih ada bekas infus disana.
Aku bersyukur tentu saja.

Setelah keluar dari rumah sakitpun, Aku harus rajin kontrol tiap minggu. Minum obat tiga kali sehari. Saking seringnya minum obat, Aku sudah bisa menikmati pahitnya. Ya, seperti pecandu kopi mungkin. Bedanya, Aku menikmatinya bukan dengan senja, tapi segelas air putih.

Setiap kali check up, kata istirahat selalu keluar dari mulut dokter. Sampai Aku hafal di bagian mana dari sesi check up tersebut kata istirahat itu diucapkan. Tidak hanya di mulut dokter, kata istirahat itu juga mulai menjadi ikrar yang diucapkan Ibu. Seperti janji siswa di upacara bendera muridku. Bedanya, Ibu mengucapkannya setiap kali melihatku. Bayangkan betapa kata istirahat itu sudah melekat dalam sanubariku.

Kata istirahat itu menghantuiku sampai enam bulan lamanya. Tidak ada aktifitas produktif yang bisa kulakukan selain rebahan dan menikmati pahitnya obat yang sudah tidak terasa pahit. Setidaknya Aku punya keahlian baru : minum beberapa obat dalam sekali telan. Apakah bisa disebut keahlian? Bisa, karena sebelumnya Aku amatir dalam hal obat-obatan.

Keahlianku berikutnya adalah merenung. Betapa selama ini Aku telah berbuat jahat pada tubuhku sendiri. Aku ingin memenuhi ambisiku, namun tidak memperhatikan tubuhku. Andai bisa bicara, mungkin tubuhku sudah menangis meraung-raung dan menyumpahiku. Selama ini, Aku tidak tahu bahwa tubuhku juga punya batas. Aku manusia biasa. Bukan spongebob.

Sekarang? Apakah semua mimpi dan tujuan yang membuatku memaksa tubuhku bekerja untuk mencapainya bisa kuraih? Jawabannya, Aku harus memendam dan merelakan beberapa tujuan tidak tercapai. "Andai Aku bisa lebih memperhatikan tubuhku, mampu menerima sinyal-sinyal menyerah dari tubuhku, dan mendengar lelaki bermulut manis itu, mungkin Aku masih bisa mencapai segalanya secara perlahan". Segala kalimat yang dimulai dengan andai biasanya hanya berupa penyesalan. Ya, dan Aku menyesal.

Apa kesimpulannya?
Selama kamu masih menyadari bahwa kamu manusia, kamu harus tahu batas. Batas dari tubuhmu. Betapapun sehatnya kamu, tubuhmu pasti punya batas. Bukan hanya fisikmu, pikiranmu juga. Kelelahan bukan cuma dialami fisikmu, isi kepalamu juga butuh istirahat. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Tujuanmu penting. Tapi, kesehatanmu jauh lebih penting. Tidak ada tujuan yang tercapai tanpa tubuh yang sehat.

"Kalau capek, istirahat"


Read More

Kamis, 21 Mei 2020

Expecto Patronum


“Jadi, bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya?”

Ahmad meletakkan cangkulnya, duduk bersandar pada sebatang pohon yang tidak terlihat keramat sama sekali. Masih memikirkan jawaban pertanyaan dari wanita di layar ponsel pintarnya.

“Makhluk hidup lainnya?”

“Ya. Selama ini kan kamu bertetangga dengan robot-robot kapitalis”

“Heh. Mulutmu Ratna!”

Ratna tertawa di atas tempat tidurnya, memutuskan bangkit untuk menyalakan lampu kamar agar wajahnya terlihat lebih cerah di layar.

“Kamu pernah lihat padi dari jarak dekat?” Ahmad diam sebentar, memperhatikan sebatang padi di genggamannya.

“Maksudku, Aku baru tahu tekstur padi seperti ini, wanginya semenenangkan ini”

“Kau tidak sedang melebih-lebihkan, bukan?”

“Selama ini Aku makan nasi dengan buas tanpa pernah tahu secara spesifik bagaimana bentuk kulitnya. Sekarang Aku bahkan baru saja menanam padi”

“Sebuah pencapaian!”

Ratna berteriak antusias. Ia meletakkan ponselnya untuk bertepuk tangan.

“Ya kan? Apa seharusnya Aku pindah jurusan saja, Na? Sepertinya Aku lebih cocok di jurusan pertanian dibanding Hubungan Internasional”

“Sepertinya lebih baik kita ganti topik, Kamu mulai terdengar aneh” Ratna memperhatikan pohon di belakang Ahmad. “Atau sepertinya kamu harus pindah tempat”

“Kamu yakin tidak ingin mudik?”
Ahmad menyalakan sebatang rokok yang hampir patah dari sakunya.

“Lalu dikarantina? Big No!”

“Come on, cuma 14 hari kok” Ahmad melepas topinya, rambutnya basah oleh keringat. “Lagipula tempat karantinaku kemarin free wifi”

“Kampungku bahkan tidak tersentuh jaringan 2G. Karantina dengan fasilitas tidak memadai sama dengan cari mati”

“Then, just doing self quarantine”

“Ahmad, dengar ya” Ratna bangun dan mengubah posisinya yang tadinya berbaring menjadi duduk rapi, terlihat serius. Ahmad menaikkan volume speakernya. “Setiap orang punya caranya masing-masing menghadapi pandemi ini untuk bertahan hidup. Dan caraku adalah dengan tidak kemana-mana”

Ahmad diam sebentar, lalu merasa gerah dan mengipas-ngipaskan topinya. Bersyukur cara yang dilakukan Ratna masih dalam kategori normal.

“Tadi adikku mengirim pesan, ia sedang berada di pasar. Aktivitas warga di kampungku tetap normal seperti tidak terjadi apa-apa”

Ratna mengacak rambutnya frustasi, memikirkan keluarganya yang sama apatisnya dengan warga lainnya. Ia kembali berbaring.

“Mereka juga sedang mencoba bertahan hidup”

Ahmad mengubah tampilan  kameranya menjadi kamera belakang, terlihat orang-orang dengan pakaian menutupi seluruh badan, celana panjang penuh lumpur dan baju partai. Beberapa pria memakai topi dan wanita mengenakan kerudung sebagai penutup kepala sekedar untuk melindungi diri dari sinar matahari dan kadang hujan. Semuanya terlihat bekerja keras dengan peluh yang membasahi punggung.

“Mereka lebih takut mati kelaparan”

Ratna menghela nafas. Senyum ceria yang ia tampilkan saat Ahmad mengangkat panggilan videonya tadi kini berubah murung.

“Sepertinya sekarang Aku yang ingin ganti topik” Ahmad menyadari perubahan mood Ratna yang menandakan bahaya.

“Kamu ingat mantra Harry saat melawan dementor?” Tanya Ratna.

Ahmad berpikir sejenak, mengingat kembali beberapa mantra yang ada dalam film kesukaan Ratna itu.

“Expecto Patronum?”

“Ya!” Ratna bangkit lagi dari pembaringannya. Kali ini ia duduk di kursi belajar. Mengambil sebuah buku. “Mantra itu menghasilkan patronus, satu-satunya makhluk yang bisa mengusir dementor. Kalau dari bahasa latin, Expecto artinya berharap, patronus artinya pelindung. Mantra itu artinya mengharapkan datangnya pelindung”

Ratna meletakkan bukunya, terlihat berpikir.

Ahmad mulai risau, biasanya jika Ratna mulai berpikir, segala hal absurd ada disana, di dalam kepalanya.

Kamu mau kan temani Aku ke masa depan kalau mesin waktu benar-benar ada?

Tahun depan setelah lulus, Aku ingin mencoba cara tercepat sampai ke bulan.

Ahmad, seharusnya sayap malaikat pernah rontok sesekali, kan?

Aku akan menjadi peracik parfum dengan aroma petrikor. Kamu harus jadi pembeli pertama!

“Ratna?”

“Aku akan mempelajari mantra semacam Experto Patronum. Tapi bukan untuk mengusir dementor. Aku ingin mengusir segala hal-hal buruk di dunia ini. Salah satunya pandemi ini. Menurutmu kuberi nama mantra apa jika sudah kutemukan?” Ratna bertanya sungguh-sungguh, tanpa sedikitpun ada niat bercanda.

Ahmad mengusap wajahnya frustasi. Wanita dua puluh satu tahun yang ia sebut sahabat itu tidak pernah berubah. Pikirannya adalah tanah lapang dengan beraneka macam buah tanpa bisa dipetik, tak bertuan dan tidak satupun yang boleh membatasinya untuk tumbuh. Satu-satunya hal yang membuat Ahmad bertahan untuk tetap mendengarkan isi kepala Ratna adalah karena tidak satupun yang ingin mendengarnya selain Ahmad. Meskipun itu seharusnya bukan sebuah alasan.

Ahmad mulai menyesal membahas tentang “mati kelaparan”. Ratna selalu peka dengan isu isu sosial. Bahkan terlalu peka hingga solusi yang ia tawarkan selalu tidak masuk akal.

“Sudah dulu ya, Ahmad. Aku akan mencoba membuat mantra!” Ratna mengarahkan telunjuknya ke udara "Avada Kedavra!"

Video call berakhir dengan Ahmad yang was-was dengan apa yang akan dilakukan Ratna.

Read More

Rabu, 01 April 2020

Teman Lama

Halo!
11hr11min


Apa kabar?

Rasanya seperti menyapa teman lama. Canggung.

Terakhir kali bercengkrama dengan blog usang ini dua tahun lalu, Agustus 2018.
Kira-kira, jika kamu berada di posisi yang kebetulan bertemu dengan teman lama di jalan, hal apa yang pertama kali kamu katakan? Beberapa orang mungkin akan berjabat tangan atau berpelukan erat, lalu setelahnya?. Pertanyaan saya bukan tentang interaksi fisik, melainkan kata-kata.

Apa kabar? Pertanyaan basa-basi yang selalu jadi peringkat teratas di awal obrolan. Jika Apa kabar adalah hal pertama yang kamu ucapkan, kamu tentu bisa menebak jawaban dari pertanyaanmu sendiri. Jika ia adalah teman lama yang tidak begitu akrab denganmu ia tentu akan menjawab dengan kabar baik. Jawaban yang sama akan kamu peroleh jika ia adalah teman lama yang kamu tempatkan dalam ruang kompetitor, teman yang selalu membuatmu ingin menjadi lebih baik dibandingkan dia, melihatnya berhasil dalam suatu hal menumbuhkan ambisi dalam dirimu untuk jauh lebh berhasil. Teman lama jenis kompetitor ini juga akan menjawab dengan kabar baik karena tidak ingin terlihat buruk di hadapanmu terlepas dari segala kabar buruk yang ia pendam. Lain halnya dengan teman lama yang cukup akrab denganmu, ia akan menjawab apa adanya. Mungkin pertemuan kebetulan itu akan berubah menjadi ajang curhat, mengeluh, bahkan tidak jarang menghasilkan temu-temu berkelanjutan.

Bertemu dengan teman lama akan memunculkan dilema. Topik apa yang sebaiknya dilontarkan untuk teman yang kabarnya hanya sebatas baik dan buruk ini? Menanyakan tentang pendidikan? Bagaimana jika ia gagal dalam ujian tahun ini dan belum menyelesaikan pendidikannya?. Tentang keluarga? Bagaimana jika keluarganya sedang berada dalam masalah atau baru saja berduka. Karir? Bagaimana jika sampai hari ini ia masih berjuang untuk lepas dari status pengangguran?. Hubungan asmara? Bagaimana jika ia baru saja putus dari kekasihnya dan patah hati?
Dilema dalam situasi bertemu dengan teman lama itu wajar, kok. Artinya, kamu masih manusia dan beruntungnya, kamu manusia yang berhati baik. Khawatir akan melukai perasaan teman lamamu adalah tanda hatimu baik. Lalu, bagaimana mengatasinya? Segala dilema itu sebenarnya berasal dan bermuara pada satu hal : kabar.

Iya, kabar.
Bagi orang-orang yang tersentuh atau bahkan didekap teknologi, kabar adalah hal yang ada dalam genggamannya setiap hari. Layar berbentuk persegi panjang yang setiap hari memancarkan radiasi itu berisi kabar-kabar. Kabar bukan lagi terbatas soal baik atau buruk. Melainkan meluas menjadi aktivitas yang dengan mudah disajikan dan disaksikan. Jangankan pendidikan, karir, atau hubungan asmara, kamu bahkan bisa melihat apa saja menu sarapan teman lamamu pagi ini. Saat melihat kabar teman lamamu lewat video boomerang dalam momen sarapan paginya, disana ada anak kecil dan seorang wanita yang tersenyum lebar. Artinya, keluarganya sedang dalam keadaan bahagia. Saat tidak sengaja bertemu dengannya di jalan, kamu bisa menanyakan berapa umur anaknya. Saat melihat kabar teman lamamu lewat foto wisuda yang ia bagikan di timeline, artinya ia berhasil menyelesaikan pendidikan. Saat tidak sengaja bertemu dengannya di jalan, kamu bisa menanyakan tentang jurusan pendidikannya. Saat melihat undangan digital dari akun teman lamamu yang berisi namanya dengan nama mantan kekasihmu, sebaiknya hindari bertemu dengannya di jalan. Wkwkwk. Bercanda, sayang. Kamu tentu bisa membahas betapa beruntungnya mereka dan mendoakan kebahagiaan mereka. Jika kamu cukup tabah untuk itu.

Lalu, bagaimana jika teman lamamu tidak cukup eksis di media sosial? Bagaimana jika ia hanya menjadi viewer story tanpa pernah berkabar? Kamu cukup membahas hal yang sedang viral belakangan ini. Mungkin tentang nilai tukar rupiah terhadap dollar atau omnibus law. Atau mungkin tentang Nia Ramadhani yang tidak tahu cara mengupas pisang. (why)

Bagaimana? Sudah tidak sabar ingin bertemu teman lama di jalan? Tahan dulu. Saya yakin bukan hanya dengan teman lama, tapi ada banyak pertemuan yang sangat ingin kamu segerakan. Tapi, kondisi jalan dan sudut-sudut keramaian saat ini sedang tidak memungkinkan untuk sebuah pertemuan. Tahan dulu.

Saat ini, kamu bisa menanyakan kabar teman lama lewat jemarimu tanpa berinteraksi fisik dengannya. Tanyakan keadaannya lalu saling berdoa agar kita saling bertahan di tengah kabar buruk ini.
Semoga kita lekas mendapat kabar baik.


Catatan penulis:
Jadi, Apa kabar?
Saya berharap bisa terus menyapa, pertemuan yang tidak kebetulan dan bukan di jalan ini, semoga menghasilkan temu-temu berkelanjutan. Saya akan menemuimu dalam tulisan. Maaf karena memberi jeda terlalu lama. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk segala kabar baik dan buruk. Semoga bisa berbagi suka dan duka dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Salam sayang.

Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates