“Ada bagian dari
semesta yang ketika kelam menelanjangi nuranmu, ia mendekapmu dengan jubah
paling suci dan menceritakan padamu tentang sinar mentari”
Halo!
Sebagian orang di dunia
ini, hanya mampu memaknai suatu hal tetapi tidak pandai mengekspresikan apa
yang ia rasakan. Sama halnya dengan seorang remaja yang mengalami pergantian
usia, dari 19 tahun ke 20 tahun. Rasanya itu campur aduk. Ketika orang-orang
silih berganti memberikan doa, entah harus bahagia, terharu, sedih, atau bahkan
marah. Sebuah tulisan mungkin bisa mewakili betapa ‘awesome’ nya pergantian angka pertama di perhitungan usia ini.
Sepatu cantik nan
rupawan yang berjejer di toko-toko tiba-tiba mengingatkan saya pada sepatu
butut yang tergeletak tak berdaya di rak kos-kosan. Kalau sepuluh tahun yang
lalu, saya mungkin akan merengek di hadapan mama atau bapak minta dibelikan
sepatu cantik itu. Kalau tidak dibelikan, jurus terampuh adalah merajuk,
kemudian simsalabim abracadabra, sepatu cantik sudah ada di jejeran rak sepatu.
Tapi sekarang,jurus terampuh ketika menginginkan sepatu itu adalah dengan
kesabaran. Ingin merengek minta dibelikan sama orang tua, malu. Ingin merajuk,
takut dikutuk jadi batu, Ingin beli pakai uang jajan, takut jatah untuk beli
indomi habis (njir, anak kos banget ini). Alhasil, sepatu idaman ini akan
terbeli berbulan-bulan kemudian. Setelah berhemat sedemikian rupa hingga
tabungan cukup. Di bagian
ini, kita menyadari bahwa perlahan, aliran-aliran kemandirian mulai ingin
mengalir dalam tubuh kita.
Dari sebuah sepatu
butut, kita bisa memaknai hal-hal yang sudah dijalani selama 20 tahun ini.
Meskipun tidak dimulai dari bayi (iyalah).
Selain tanda-tanda pubertas yang banyak dipelajari pada pelajaran
biologi, yang berubah signifikan adalah pola pikir. Bagaimana anak kecil yang
dulunya setiap hal bergantung pada orang tua, mulai punya rasa malu bergantung
pada mereka. Proses minta uang yang dulunya “ma, minta uang dong. Uang jajan
habis”. Sekarang kalau pengen minta uang harus pakai kode-kodean “ma, liat
dompet aku deh, ini emang modelnya yang tipis atau gimana ya?” atau se ekstrim
“ma, tadi aku ke atm kan, masa ya atm nya minta maaf sama aku”. Ketika pakai
kodepun, butuh keberanian yang luar biasa untuk mengungkapkannya.
Di usia ini, mungkin
kita juga sudah mulai percaya pada teori Zoon Politicon-nya Aristoteles tentang
manusia sebagai makhluk sosial. Kita mulai menyadari bahwa, ada orang-orang
yang datang dan pergi dalam hidup dan ada juga orang-orang yang datang,
menetap, dan tumbuh bersama-sama dengan kita. Setiap inci dalam kehidupan kita
selalu terkait dengan orang lain. Kita menyadari betapa kita membutuhkan mereka
dalam menjalani hari demi hari. Bukan hanya orang tua, tetapi orang asing
seperti tukang parkir sekalipun berjasa dalam hidup kita. Mungkin karena itulah,
kita selalu ingin menunjukkan keberadaan kepada duna. Like “hey look. I’m here.
I am the part of this state”. Apalagi disaat sekarang ini, dunia digtal
mendominasi interaksi kita dengan orang banyak.
Cara kita memaknai
sesuatu juga mulai berbeda. Dari yang dulunya galau, nangis-nangis karena
penyanyi idola tereleminasi dari ajang pencarian bakat, kemudian galau masalah
cinta-cintaan yang kisah asmaranya sudah seperti sinetron, galau karena tugas
sekolah, tugas kuliah, sekarang yang digalaukan adalah masalah-masalah abstrak.
Banyak berpikir tentang hal-hal yang lebih logis. Tentang hal-hal yang sudah
datang dan pergi. Bagaimana bersyukur dan tabah dengan setiap masalah yang
menghampiri. Kemudian memaklumi bawa kita bukan lagi anak belasan tahun yang
bersedih hanya karena hal-hal sepele. Apa yang terjadi, biarlah tejadi. Kita
juga mulai membenarkan bahwa, hidup tidak selamanya berada di pihak kita. Di
usia inilah mungkin kita sering mengalami momen mengutuk hidup kita sendiri
untuk kemudian tersadar bawa hidup yang kita jalani ini sudah di skenariokan.
Karena di usia ini sedkit demi sedikit ketika membaca kitab suci, kita tidak
sekedar baca dengan keras seperti anak kecil tetapi mulai mencari arti dan
maknanya. Secara tidak sadar, di bagian ini kita merasakan kehadiran Sang
Pencipta dalam hidup kita.
Tujuan hidup kita juga
akan berbeda. Ketika dulu waktu SD ditanya oleh guru kalau besar mau jadi apa?
Dengan lantang kita menjawab dokter, polisi, guru, tentara, dan
pekerjaan-pekerjaan lainnya. Perlahan-lahan semakin bertambahnya umur kita,
pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab.
Bahkan jawabannya akan terkesan abstrak. Ketika orang lain bertanya seperti
itu, saya akan jawab dengan “tidak tahu” bahkan ketika saya kuliah di kampus
yang sudah jelas lulus dari sana gelar yang akan saya dapat memungkinkan saya
menjadi apa. Tapi tetap saja, jawaban yang saya kantongi hanya “tidak tahu”.
Bukan karena kita benar-benar tidak tahu apa tujuan hidup kita. Kita semua
punya, jawaban itu tidak terletak di kantong, tetapi di lubuk hati yang paling
dalam (eak) dan percayalah, kita selalu bisa meraih tujuan itu. di bagian ini kita paham bawa ada beban sosial bagi pemuda-pemuda seperti kita dan itu harus dipertimbangkan dalam mencapai tujuan.
Di usia ini, kamu masih
senang menonton film kartun, anime, baca komik, novel meskipun tahu betapa
tinggi fantasi di dalamnya. Tidak ada salahnya. Kamu baru 20 tahun. Masih ada
10 tahun lagi sampai angka 2 menjadi 3. Nikmatilah !
Di usia ini juga, Orang-orang yang ingin serius menjalin
hubungan denganmu mulai berdatangan...
Umur 20 tahun tidak
menjamin dewasa atau tidaknya seseorang. Tapi setidaknya, di usia ini semoga
kita bisa lebih baik dalam memaknai hidup.
Untuk generasi 1997,
yang tahun ini beranjak 20 :
“Kamu bukan cinderella
dan tidak ada ibu peri. Tapi kamu selalu bisa percaya doa-doa. Ia bahkan bisa
memberimu lebih dari sekedar kereta kuda dan sepatu kaca”
Kamui
No Jutsu