with Yuliana Firman

Selasa, 18 Juli 2017

Sepatu Butut



“Ada bagian dari semesta yang ketika kelam menelanjangi nuranmu, ia mendekapmu dengan jubah paling suci dan menceritakan padamu tentang sinar mentari”

Halo!

Sebagian orang di dunia ini, hanya mampu memaknai suatu hal tetapi tidak pandai mengekspresikan apa yang ia rasakan. Sama halnya dengan seorang remaja yang mengalami pergantian usia, dari 19 tahun ke 20 tahun. Rasanya itu campur aduk. Ketika orang-orang silih berganti memberikan doa, entah harus bahagia, terharu, sedih, atau bahkan marah. Sebuah tulisan mungkin bisa mewakili betapa ‘awesome’ nya pergantian angka pertama di perhitungan usia ini.

Sepatu cantik nan rupawan yang berjejer di toko-toko tiba-tiba mengingatkan saya pada sepatu butut yang tergeletak tak berdaya di rak kos-kosan. Kalau sepuluh tahun yang lalu, saya mungkin akan merengek di hadapan mama atau bapak minta dibelikan sepatu cantik itu. Kalau tidak dibelikan, jurus terampuh adalah merajuk, kemudian simsalabim abracadabra, sepatu cantik sudah ada di jejeran rak sepatu. Tapi sekarang,jurus terampuh ketika menginginkan sepatu itu adalah dengan kesabaran. Ingin merengek minta dibelikan sama orang tua, malu. Ingin merajuk, takut dikutuk jadi batu, Ingin beli pakai uang jajan, takut jatah untuk beli indomi habis (njir, anak kos banget ini). Alhasil, sepatu idaman ini akan terbeli berbulan-bulan kemudian. Setelah berhemat sedemikian rupa hingga tabungan cukup. Di bagian ini, kita menyadari bahwa perlahan, aliran-aliran kemandirian mulai ingin mengalir dalam tubuh kita.

Dari sebuah sepatu butut, kita bisa memaknai hal-hal yang sudah dijalani selama 20 tahun ini. Meskipun tidak dimulai dari bayi (iyalah).  Selain tanda-tanda pubertas yang banyak dipelajari pada pelajaran biologi, yang berubah signifikan adalah pola pikir. Bagaimana anak kecil yang dulunya setiap hal bergantung pada orang tua, mulai punya rasa malu bergantung pada mereka. Proses minta uang yang dulunya “ma, minta uang dong. Uang jajan habis”. Sekarang kalau pengen minta uang harus pakai kode-kodean “ma, liat dompet aku deh, ini emang modelnya yang tipis atau gimana ya?” atau se ekstrim “ma, tadi aku ke atm kan, masa ya atm nya minta maaf sama aku”. Ketika pakai kodepun, butuh keberanian yang luar biasa untuk mengungkapkannya. 

Di usia ini, mungkin kita juga sudah mulai percaya pada teori Zoon Politicon-nya Aristoteles tentang manusia sebagai makhluk sosial. Kita mulai menyadari bahwa, ada orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup dan ada juga orang-orang yang datang, menetap, dan tumbuh bersama-sama dengan kita. Setiap inci dalam kehidupan kita selalu terkait dengan orang lain. Kita menyadari betapa kita membutuhkan mereka dalam menjalani hari demi hari. Bukan hanya orang tua, tetapi orang asing seperti tukang parkir sekalipun berjasa dalam hidup kita. Mungkin karena itulah, kita selalu ingin menunjukkan keberadaan kepada duna. Like “hey look. I’m here. I am the part of this state”. Apalagi disaat sekarang ini, dunia digtal mendominasi interaksi kita dengan orang banyak.

Cara kita memaknai sesuatu juga mulai berbeda. Dari yang dulunya galau, nangis-nangis karena penyanyi idola tereleminasi dari ajang pencarian bakat, kemudian galau masalah cinta-cintaan yang kisah asmaranya sudah seperti sinetron, galau karena tugas sekolah, tugas kuliah, sekarang yang digalaukan adalah masalah-masalah abstrak. Banyak berpikir tentang hal-hal yang lebih logis. Tentang hal-hal yang sudah datang dan pergi. Bagaimana bersyukur dan tabah dengan setiap masalah yang menghampiri. Kemudian memaklumi bawa kita bukan lagi anak belasan tahun yang bersedih hanya karena hal-hal sepele. Apa yang terjadi, biarlah tejadi. Kita juga mulai membenarkan bahwa, hidup tidak selamanya berada di pihak kita. Di usia inilah mungkin kita sering mengalami momen mengutuk hidup kita sendiri untuk kemudian tersadar bawa hidup yang kita jalani ini sudah di skenariokan. Karena di usia ini sedkit demi sedikit ketika membaca kitab suci, kita tidak sekedar baca dengan keras seperti anak kecil tetapi mulai mencari arti dan maknanya. Secara tidak sadar, di bagian ini kita merasakan kehadiran Sang Pencipta dalam hidup kita.

Tujuan hidup kita juga akan berbeda. Ketika dulu waktu SD ditanya oleh guru kalau besar mau jadi apa? Dengan lantang kita menjawab dokter, polisi, guru, tentara, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Perlahan-lahan semakin bertambahnya umur kita, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Bahkan jawabannya akan terkesan abstrak. Ketika orang lain bertanya seperti itu, saya akan jawab dengan “tidak tahu” bahkan ketika saya kuliah di kampus yang sudah jelas lulus dari sana gelar yang akan saya dapat memungkinkan saya menjadi apa. Tapi tetap saja, jawaban yang saya kantongi hanya “tidak tahu”. Bukan karena kita benar-benar tidak tahu apa tujuan hidup kita. Kita semua punya, jawaban itu tidak terletak di kantong, tetapi di lubuk hati yang paling dalam (eak) dan percayalah, kita selalu bisa meraih tujuan itu. di bagian ini kita paham bawa ada beban sosial bagi pemuda-pemuda seperti kita dan itu harus dipertimbangkan dalam mencapai tujuan.

Di usia ini, kamu masih senang menonton film kartun, anime, baca komik, novel meskipun tahu betapa tinggi fantasi di dalamnya. Tidak ada salahnya. Kamu baru 20 tahun. Masih ada 10 tahun lagi sampai angka 2 menjadi 3. Nikmatilah !

Di usia ini juga,  Orang-orang yang ingin serius menjalin hubungan denganmu mulai berdatangan...

Umur 20 tahun tidak menjamin dewasa atau tidaknya seseorang. Tapi setidaknya, di usia ini semoga kita bisa lebih baik dalam memaknai hidup.

Untuk generasi 1997, yang tahun ini beranjak 20 :
“Kamu bukan cinderella dan tidak ada ibu peri. Tapi kamu selalu bisa percaya doa-doa. Ia bahkan bisa memberimu lebih dari sekedar kereta kuda dan sepatu kaca”


Kamui No Jutsu
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates