with Yuliana Firman

Sabtu, 04 Maret 2017

Mati Sebelum Berarti

Ketika kau tahu bahwa suatu hal akan berakhir buruk, sanggupkah kau mengakhirinya ketika masih terasa indah?

Halo!

Orang bijak mengatakan bahwa kita bisa belajar dari banyak hal. Bahkan dari suatu hal yang buruk sekalipun. Selalu ada yang bisa kita pelajari dari setiap hal. Tidak peduli seberapa kecil kuantitasnya atau seberapa rendah kualitasnya. Yang penting kita belajar. Salah satu tujuan kita hidup memang untuk belajar, bukan?
Kehadiran blog ini juga seperti itu. Author blog ini adalah orang yang jauh dari kata ‘baik’. Jadi, semoga ada hikmah yang bisa diambil dari blog ini tanpa perlu memandang siapa authornya. Kita sama-sama belajar (iya, kita).

Salah satu objek belajar yang paling saya senangi adalah Tokoh atau karakter dari tokoh fiksi. Mereka memang tidak ada dalam dunia nyata tapi disanalah terkadang saya menemukan bahwa imajinasi yang ditawarkan alur cerita fiksi itu tanpa sadar sering saya temui di dunia nyata. Kalian boleh menyebut saya melankolis dan sejenisnya and I don’t deny it.
Selain dari orang-orang tidak nyata di tokoh fiksi, belakangan saya juga belajar banyak dari seseorang. Tapi bukan dia yang ingin saya bahas. Tidak baik jika terlalu sering membahas tentang kegagalan. Pembahasan tentang belajar dari alarm akan jauh lebih menarik.

Iya, Alarm. Yang sering kita temui setiap hari. Atau yang lebih spesifiknya alarm otomatis. Yang di setel sebelum tidur. Hal yang seringkali dianggap sepele ini ketika dipikir-pikir (bagi orang-orang yang ingin berpikir), kita bisa belajar dari sistem yang tercakup dalam smartphone kita ini. Karena sebagian besar orang sudah jarang menggunakan jam weker sebagai alarm (kalau masih ada, tolong sisakan satu orang setia seperti ini), kebanyakan orang menggunakan smartphone sebagai alarm.

Misalnya, sebelum tidur kita menyetel alarm pukul 05.00 dengan keyakinan penuh dan ekspektasi mulia akan bangun untuk beribadah. Kemudian kita terlelap jauh berlayar ke pulau kapuk. Hingga ketika tahap demi tahap perintah dilalui oleh sistem di smartphone,  lalu jam digital di layar menunjukkan pukul 05.00, mulai ada getaran, lambat laun menjadi dering yang semakin keras semakin memekakkan telinga bahkan mungkin menjadi nada yang paling tidak ingin kita dengar, dengan tanpa rasa bersalah, kita terbangun kemudian menggeser warna merah di layar smartphone dan kembali melanjutkan tidur. Ekspektasi mulia tadi dalam sekejap akhirnya menjadi realita yang hina. Terlambat bangun kemungkinan besar adalah penyebab terlambatnya juga aktivitas berikutnya. Entah itu sekolah, kuliah, ataupun terlambat bekerja.

Kemudian di malam berikutnya, kejadian mempermainkan alarm itu terulang kembali. Kita terbuai dalam tidur yang indah tanpa ingin mengakhirinya. Bayangkan bagaimana sulitnya menjadi alarm, yang dimatikan sebelum ia sempat membangunkan kita untuk kemudian benar-benar beribadah. Yang dimatikan sebelum sempat berarti.

Lagipula, sebelumnya bukankah sudah jelas tertanam di kepala bahwa ketika saya melanjutkan tidur setelah alarm itu berbunyi, saya pasti akan bangun terlambat. Lalu kenapa tidurnya masih dilanjutkan?

Nah, alarm ini adalah contoh paling sederhana kasus “mempertahankan kebodohan”. Sudah jelas kita tahu akibatnya bagaimana, tapi kita masih bersikeras melakukan sebabnya. Seakan-akan kita memberi kesempatan kepada kegagalan untuk terus menerus membodohi kita.

Ayolah, jadi manusia jangan terlalu takabur. Seharusnya kita bersyukur dikaruniai akal. Jangan terus mengulang-ulang kebodohan. Jangan sampai banyak korban “mati sebelum berarti” seperti alarm tadi gara-gara ketakaburan kita sebagai manusia.
Sekian.

Sedikit catatan :
Jika belum mampu menjadi penulis, jadilah pembaca yang ulung. Indonesia butuh pegiat-pegiat sastra/literatur.

Hidup Pithecanthropus Erectus!


Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates