Halo!
Ada satu kata dan sembilan huruf yang membuat saya selalu
jatuh cinta. bagaimana tidak, keindahannya membuat setiap orang berdecak kagum
: INDONESIA. Membayangkannya saja sudah menimbulkan afeksi yang berlebihan
hingga membuat lupa akan kehadiran mortalitas. Bukan hanya tentang indahnya,
coba tengok sejarahnya. Negara mana yang punya sejarah se-dramatis Indonesia?
Untuk kesekian kalinya, saya jatuh cinta pada negara ini.
Namun kali ini, saya ingin mencoba untuk mengesampingkan
semua rasa cinta yang tak terukur ini dan ingin mencoba beresoteris pada sisi
gelap apa yang saya cintai ini. Berbicara tentang sisi gelap, saya ingat
sebutan "Macan Asia" untuk Indonesia yang kemudian beberapa tahun
belakangan di tambah menjadi "Macan Asia yang Tertidur" sebuah
julukan yang semoga saja mampu menampar Bangsa Indonesia.
Saya ingin memulai pada pemerintah. Bagaimanapun usaha saya
berpikir positif ketika mendengar kata “pemerintah”, yang terlintas dalam benak
saya hanyalah budak, budak uang. Yang membuat seakan-akan uanglah yang mengatur
seluruh sistem di Indonesia. Yang kuat di atas, yang lemah ditindas. Yang memerintah
senang menyogok, yang diperintah bermental senang disogok. Cukup serasi untuk
merusak pondasi negeri dan menghancurkan generasi bangsa. Coba tanyakan pada
masyarakat tentang korupsi. Siapa yang tidak kenal istilah itu? Korupsi sudah
menjadi makanan sehari-hari awak media. Saya bahkan sudah bosan, muak dengan
istilah nista itu. Saya takut ketika suatu saat korupsi sudah menjadi hal wajar
dan bukan lagi sebuah pelanggaran. (Amit-amit. Naudzubillah minzalik!!). Jangan
sampai suatu saat, anak cucu kita (iya, kita ) menanyakan tentang pemerintah Indonesia dekade ini, dan
yang bisa kita ceritakan hanya kisah koruptor yang semakin dramatis hingga
memunculkan babak demi babak. Tragis!
Kita tengok di wilayah pendidikan. Lagi-lagi saya ingat
dengan sebuah istilah : “Alergi Teknologi” atau bahasa gaulnya GAPTEK . kita
hidup di zaman dimana logam dapat berbicara, logam lebih pandai dari manusia. Kalau
tidak pandai, manusia benar-benar akan dikendalikan oleh benda-benda semacam
itu. Nah, Masyarakat Indonesia sepertinya beresiko. Tidak perlu jauh-jauh,
contoh nyatanya bisa dilihat pada pelaksanaan Ujian Nasional baru-baru ini.
Ujian Nasional berbasis Komputer. Baru kabar burung yang menyebar, guru sudah kesana
kemari mendoktrin siswanya tentang bagaimana menakutkannya Ujian Online itu.
Kan Lucu, belum berperang tapi sudah kalah duluan. Hal inilah yang membuat siswa
gelisah, takut menghadapi logam pintar bernama komputer. Contoh lain, belajar
Bahasa Inggris dibilang tidak punya rasa Nasionalisme. Ini keterlaluan. Kalau tidak
belajar bahasa inggris, lantas apa modal kita untuk hidup di zaman ini? Malu sama
globalisasi! Belum lagi pemikiran kolot tentang kebudayaan yang hanya
berputar-putar pada wilayah tradisional tanpa mau melihat ke depan akan membuat
bangsa ini mengalami stagnasi. Cobalah untuk mempertahankan budaya yang ada
sambil terus berkembang. Mengikuti arus tapi tidak terbawa arus globalisasi. Kita
tidak lagi dibatasi oleh sekat Geografis. Maka dari itu, jiwa kompetitif mesti
ditanamkan pada generasi penerus. Bukan malah menakut-nakuti mereka dengan kata
“sulit” dalam menguasai piranti teknologi. Pembahasan tulisan ini sebenarnya
tentang Indonesia. Tapi melenceng ke arah globalisasi. Karena rasa cinta tadi,
saya selalu ingin negeri ini mampu bersaing di era globalisasi. Bersanding dengan
negara-negara maju di luar sana.
Yang paling bobrok dan mengalami kehancuran adalah akarnya,
yaitu hal-hal seperti moral, mental, dan hal-hal mendasar lainnya. Korupsi,
saling hina, saling hujat, pembunuhan, bentrok antar sesama, pencemaran nama
baik, pelecehan seksual yang bahkan sudah merembes ke kalangan anak-anak. Masalah
utamanya terletak pada satu hal : moralitas. Ketika berbicara tentang moral,
kita putar balik ke wilayah pendidikan. Ada berbagai upaya yang sudah coba
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, mulai dari penanaman nilai-nilai
moral di lingkup pendidikan formal, hingga media massa dan berbagai kampanye
yang dilakukan. Hasilnya? Belum bisa dijustifikasi saat ini karena generasi
penerus bangsa sementara digembleng untuk perbaikan moral kedepannya. Saya berharap
masalah fundamental seperti ini ditanganni seintensif mungkin.
Beralih ke wilayah mental. Ada yang mengatakan bahwa
bagaimanapun moralnya diperbaiki kalau mentalnya memang mental penjahat, moral
bisa apa? Pendapat ini memang tidak bisa disalahkan. Apalagi, jika lingkungan
di pemerintahan memang sudah ber aura korup, mau tidak mau kalau imannya lemah,
akan terjerumus juga.
Satu hal mengenai bangsa Indonesia sehubungan dengan
mental. Bangsa Indonesia itu JUDGEMENTAL . termasuk saya sendiri. Kita terkesan
hanya melihat satu sisi tanpa mempertimbangkan sisi yang lain. Mentang-mentang
kita eksis dengan suasana mayoritas lantas menghakimi identitas mereka yang
minoritas. Kita terlalu mudah melihat sisi buruk. Hanya karena anggota dalam
suatu kelompok berubah wujud menjadi anjing lantas menganjingkan anggota
kelompok yang lain. Kelinci yang lucupun akan menjadi buas jika diperlakukan
seperti itu. Judgemental yang keterlaluan akan menimbulkan konflik. Kita hidup
di negara yang serba beragam dan kita sering lupa akan hal itu hingga mudah
terpecah oleh hal-hal kecil. Jangan sampai keberagaman yang selalu kita
bangga-banggakan selama ini menjadi jurang pemisah di antara kita dan Bhineka
Tunggal Ika hanya dijadikan hiasan dinding semata. Cobalah belajar untuk
memaknai sesuatu bukan hanya pada satu sisi, bukan pada apa yang dikatakan
orang lain. Karena tidak semua orang pandai memaknai emosi.
Sudah hampir satu lembar saya mengangkat sisi gelap satu
kata sembilan huruf yang saya cintai ini. Tapi rasanya masih banyak hal yang
ingin saya ungkap. Memang, membahas permasalahan di Indonesia itu bagaikan
menguras air laut. Tidak akan ada habisnya!. Saya punya 1001 alasan untuk
membenci Indonesia, tapi entah mengapa, sedikitpun rasa benci itu tidak pernah
muncul bahkan di lubuk hati yang terdalam. Mungkin karena sudah terlanjur
cinta. Pertanyaan yang muncul kemudian “Kontribusi apa yang sudah saya lakukan
untuk Indonesia?” coba tanamkan pertanyaan itu dalam benak kita bahkan hati kita msing-masing hingga kita menemukan jawabannya di kemudian hari.