with Yuliana Firman

Sabtu, 31 Desember 2022

Residu Resolusi

Aku mencarimu sepanjang tahun, ingin kutanyakan beberapa hal :

Sepanjang tahun ini, berapa poin dari bucket list yang berhasil terpenuhi? adakah dinamika yang membuat prinsipmu goyah? Atmosfer mana yang membuatmu berhasil beradaptasi? Kota mana yang paling sering kamu kunjungi? Luka mana yang berhasil kamu sembuhkan? Makanan apa yang paling sering kamu pesan? Ah, senangnya jika bisa mendengar kisahmu tahun ini yang jika ia adalah spektrum, Aku yakin warnanya akan jauh lebih indah dari pelangi.

Sayangnya, tidak kutemui sosokmu dimanapun. Pada hal-hal yang datang dan pergi, ranting-ranting kayu yang patah di pinggir jalan, tembok dengan cat terkelupas di tengah kota, kesibukan-kesibukan akhir tahun, bahkan di fitur terbaru instagram. Aku mencarimu sebanyak itu dan jejakmu tidak kutemukan dimanapun. Dan aku makin menyadari bahwa: hal-hal yang tidak pernah dimulai adalah yang paling mungkin menjadi abadi. Sepertimu, dalam pencarianku.

Dimanapun saat ini Kamu berada, Aku ingin bercerita.



Kaleidoskop 2022

Aku bertemu banyak jenis manusia tahun ini. Mungkin mereka sudah lupa denganku, Tapi di dalam kepalaku mereka terekam jelas, menjadi memori yang selalu kubawa sepanjang tahun. Tidak semua ingin kukenalkan padamu. Hanya satu dua orang.

Pertama, biar kukenalkan dengan Nara; seseorang yang kutemui pada pertengahan Januari. Aku pertama kali bertemu Nara secara virtual waktu itu. Biasanya berinteraksi lewat zoom meeting selalu membosankan, bukan? Tapi, dengan Nara Aku tidak merasa bosan sama sekali. Dia cantik sekali, wajahnya teduh. Kau pasti akan sepakat denganku kali ini. Mata keranjangmu tidak akan sanggup menepis binar matanya yang menawan. Kami(Aku, Nara,dan empat orang lainnya) rutin zoom meeting tiga sampai empat kali sebulan selama tiga bulan. Semacam evaluasi rutin untuk calon karyawan yang WFH. Di bulan kedua, Aku mengajak Nara bertemu secara langsung meskipun masih harus mengenakan masker karena bulan Februari waktu itu, kasus covid bertambah 36.501 orang dan berhasil meraih angka 4.844.279 kasus sejak awal kemunculannya. Apalagi, katanya muncul varian baru, kan? Tapi, apapun variannya, solusinya tetap lockdown abal-abal. Ups.

Kembali ke Nara. Aku akhirnya bertemu Nara! Seharusnya kuajak kamu waktu itu. Keindahannya real no efek. Aku yang penuh effort untuk tampil cantik ini kalah telak dengan riasan sederhananya. Kami memulai interaksi dengan topik seputar pekerjaan kemudian lama kelamaan kami saling terbuka mengenai kehidupan pribadi masing-masing. Aku semakin takjub, Nara adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dua adiknya masih kuliah, satu lagi masih balita. Kedua orang tuanya menggeluti usaha kecil-kecilan yang jika dihitung keuntungannya dalam sebulan hanya cukup untuk membeli susu formula adiknya yang bungsu. Keperluan rumah yang lain? Itu urusan Nara. Keperluan perkuliahan kedua adiknya? Tentu masih urusan Nara juga. Katamu, gajiku sejak awal bekerja cukup banyak, kan? Tapi, bagi Nara jauh dari cukup. Nara hanya menikmati 12% dari gajinya untuk dirinya sendiri. Sisanya, yang tentu lebih besar diberikan untuk keluarga. Aku takjub membayangkan sekuat apa bahu Nara.

Kamu harus melihat senyum di wajah Nara saat menceritakan semua beban itu. Ketulusan yang membuatku bergidik, tanpa ada keluh kesah dari tuturnya yang lembut. Bahkan ketika Aku dengan tidak tahu malu bertanya “mengapa bisa sekuat itu?”, Nara menjawab ringan “aku sudah terbiasa dengan pemakluman”. Sejak pertemuan hari itu, Aku memandang Nara dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sekedar Nara yang cantik tapi juga sebuah sayap besar terkungkung di bahunya yang ramping.

Bulan keenam, Aku kembali bertemu Nara. Kali ini tanpa masker karena benda insidentil itu sudah boleh dilepaskan di ruang terbuka. Kali ini kami bertemu bukan karena pekerjaan. Sekedar ingin tahu kabar masing-masing. Seperti sebelumnya, Nara mendengarku dengan baik terlebih dahulu. Satu lagi poin plusnya, Nara adalah pendengar yang baik. Kemudian, Nara bercerita tentang rutinitasnya selama WFO, harus berangkat dari rumahnya pukul 6 dan pulang ketika gelap tiba. Lalu, bagai perayaan duka, Nara bercerita sebelum kesini, ia tadi di kantor polisi. Katanya, ia menanyakan kejelasan soal kasus pelecehan dan kekerasan yang dialaminya oleh mantan rekan kerjanya satu tahun yang lalu. Nara tidak menyerah dengan kasus itu meskipun tak pernah ada keadilan, karena katanya lagi : ia sudah terbiasa dengan pemakluman. Meskipun, sampai hari ini Nara selalu menghindari lelaki dengan bau rokok (sayang sekali, Kamu tereliminasi). Nara, meskipun suaranya bergetar, sorot matanya tidak goyah. Mustahil menjadi Nara, menurutku ada yang terasa asing meski kami sudah berinteraksi selama setengah tahun.

Sejak hari itu, Aku tidak lagi bertemu Nara, karena kami harus berada di tim yang berbeda. Tapi, bayang-bayang Nara yang cantik dengan sayap besar yang terkungkung di bahunya yang ramping itu, masih melekat jelas. Dari Nara, Aku belajar tentang penerimaan. Manusia yang terbiasa dengan pemakluman bisa menjadi setegar Nara. Aku ingin berhenti mengeluhkan hal-hal remeh yang masih bisa kumaklumi: hujan deras ketika ingin berangkat, gaji yang menguap di akhir bulan, jaringan yang lemot, kehabisan tiket konser, antrian panjang di depan kasir, chat yang lama dibalas, makanan yang kurang enak, minuman yang tumpah padahal masih banyak, AC ruangan yang mati, jalanan yang macet, matahari yang bersinar terik, ban motor yang pecah, dan hal-hal remeh lain yang banyak kukeluhkan sepanjang tahun ini. Meski tidak sekuat Nara, Aku ingin belajar memaklumi.

Kedua, Aku ingin mengenalkanmu dengan Duma. Aku bertemu dengannya awal Mei, waktu itu Aku mudik ke kampungku yang jaringannya hanya 2G itu, beruntungnya Aku di mudik kali ini karena meski tidak bisa mengakses dunia maya disana, Aku bisa berkenalan dengan dunia Duma. Duma seorang lelaki yang bertubuh jenjang, sedikit bungkuk, dan agak kurus. Ia selalu mengenakan topi dengan posisi terbalik, terkadang mengenakan sepatu, kadang juga sandal jepit kebesaran, berjalan dengan carrier besar di punggungnya, entah apa isinya. Mungkin peralatan untuk bertahan hidup.

Duma ini manusia nomaden, hampir setiap sudut di negeri ini telah ia datangi. Katanya, ia hanya sedang berjalan menuju pulang. Ia punya rumah, tentu saja. Tapi, ketika orang-orang mudik ke rumah masing-masing untuk liburan saat lebaran, ia tidak pulang ke rumahnya. Duma justru duduk di atas mobil pick up pengangkut rumput gajah bersama Aku dan pamanku yang duduk di jok depan. Duma ingin menumpang sampai ke perbatasan, katanya Ia ingin masuk. Masuk bagi orang-orang di kampungku adalah masuk ke pedalaman yang lebih dalam. Tidak ada akses jalan, bahkan pejalan kaki bisa kecelakaan tanpa mengendarai apapun. Bahkan, pegawai negeri sipil yang ditempatkan disana hanya masuk dua kali dalam sebulan. Aku belum pernah masuk, hanya mendengar pengalaman orang-orang. Konon, pendatang yang sudah pernah masuk, tidak pernah ingin masuk lagi untuk yang kedua kalinya. Namun kata pamanku, Duma sudah berkali-kali menumpangi mobilnya ke perbatasan untuk masuk. Tujuannya kali ini adalah membantu warga disana untuk membangun mushollah. Duma berjanji bahwa lebaran kali ini, untuk pertama kalinya warga akan sholat ied di musholah. Duma bahkan lebih mahir menyenangkan hati rakyat dibanding para wakil rakyat. Ups.

Perjalanan menuju perbatasan hampir empat jam lamanya, Duma turun untuk berjalan kaki sekitar satu setengah jam lagi. Sendal jepitnya ia ganti dengan sepatu gunung. Duma menjabat tangan paman dan Aku. Memberiku gelang simpai, karena ia baru saja pulang dari Kalimantan. Duma juga punya satu simpai di lengannya, berjejer dengan gelang-gelang lain. Gelang simpai biasanya dianyam langsung di lengan, tapi katanya ia menyiapkan satu gelang simpai sebagai kenang-kenangan dan ia berikan untukku. Gelang dari akar tanaman jangang itu masih kupakai sampai sekarang. Pun sosok Duma, masih kurekam dan kumaknai cerita hidupnya. Ia hidup untuk menghidupi. Tidak pernah menetap namun menebar manfaat. Meski tidak semulia Duma, Aku juga ingin menebar manfaat. Sesederhana membuang sampah pada tempatnya, memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih tua, menahan pintu atm untuk orang lain, memindahkan anak kucing dari tengah jalan, memberi tip untuk driver ojol, tidak menawar jualan pedagang kecil, saat berkendara memberi kesempatan pejalan kaki untuk melintas, dan hal-hal kecil lain. Hal-hal besar tidak selalu lahir dari pekerjaan besar, bukan? Ada kalanya, hal besar lahir dari hal-hal kecil yang terlihat sepele. Meski tidak semulia Duma, Aku juga ingin menjadi bermakna.

Ketiga, Aku ingin mengenalkanmu kepada dirimu sendiri. Manusia yang punya banyak sekali urusan dalam kepalanya. Bagaimana bentuk bahagia terakhir dalam ingatanmu? Apakah mampu mengalahkan deretan prasangka yang belum tentu terjadi itu? Serupa sunyi yang dibiarkan berlarut-larut, kamu bisa saja dibuat kebas oleh sepi. Sudah sampai mana kamu berkemas? Sudahkah kau rapikan memori yang berantakan di penghujung Agustus? Apakah kopermu masih muat menampung kegagalan di awal Oktober? Lalu, akan kau apakan duka-duka Januari hingga Maret?

Di penghujung tahun ini kepalamu penuh dengan urusan, kedua tanganmu tidak kalah sibuk. Tangan kananmu menggenggam koper, sementara di tangan kirimu terlihat selembar tiket menuju tahun berikutnya. Di punggungmu ada ransel berisi harapan-harapan, tidak berada dalam genggamanmu, tapi untuk melepasnya, kau juga harus melepas koper dan tiket di kedua tanganmu terlebih dahulu. Lihatlah, betapa berpengaruhnya harapan dan doa-doa. Ekspektasimu terhadap tahun berikutnya tidak harus litotes ataupun hiperbolis, kamu cukup menjalaninya dengan keberanian. Seperti Nara yang penuh penerimaan dan Duma yang penuh pemaknaan. Juga dirimu, yang penuh keberanian.

Kepadamu Aku hanya ingin berpesan : betapapun pandainya kita berkemas, akan selalu ada hal yang tertinggal. Kita hanya perlu belajar menerima.

Demikian, Kaleidoskopku menjelma Resolusi.

 

Read More

Kamis, 12 Agustus 2021

Seperempat

 Teruntuk kalian yang tahun ini berada pada angka dua puluh sekian.


Tulisan ini tidak akan diawali dengan kalimat "Menjadi dewasa adalah sebuah keharusan"

Kita tidak sedang berada dalam sebuah seminar, tidak ada kata motivasi apalagi sertifikat di akhir paragraf. Kali ini kita bicara kenyataan.

So, Let's be realistic.

"Apa sebenarnya yang sedang saya lakukan sekarang?"

"Kenapa rutinitas saya setiap harinya hanya itu-itu saja"

"Duh, capek jadi beban keluarga"

"Besok nikah deh"

"Punya anak asik kali, ya"

"Kalau saya bersikap seperti ini, orang-orang pasti akan membeci saya"

"Rekan kerja saya menyebalkan"

"8 tahun pacaran sama dia kok jadi merasa tidak cocok ya"

"Si Anu sudah beli rumah, saya masih begini-begini saja"

"Kalau terus-terusan membahagiakan orang lain, kapan saya bahagia?"

"Pandangan dia tentang saya bagaimana ya?"

"Apakah Saya sanggup menafkahi calon istri saya?"

"Makin hari saya jadi makin anti sosial"

"Sampai hari ini saya masih menganggur"

"Lanjut S2 atau halalin mantan, ya?"

"Jodoh mana jodoh"

Dan lain-lain.

Sudah berapa kali menghela nafas berat hari ini? Sudah berapa banyak malam-malam panjang yang kamu habiskan dengan overthinking?

Bestie, fenomena yang sedang kita semua hadapi saat ini di usia ini adalah quarter life crisis. Aku, kamu, mereka, dan orang-orang yang sedang belajar dewasa di luar sana sedang mengalami hal yang sama. Kamu tidak sendirian.

Sebagian dari kita mungkin ada yang baru saja lulus kuliah dan kebingungan akan kemana setelah ini, mungkin ada juga yang sedang berkeliling mengirim CV kesana kemari, ada yang memutuskan untuk hidup mandiri jauh dari orang tua meskipun gaji menguap di akhir bulan, ada juga yang sedang semangat-semangatnya dalam pekerjaan namun terus ditagih tentang jodoh yang entah sedang diantar jemput oleh siapa.

Berbagai kebingungan yang melanda di fase quarter life crisis itu bisa saja dipicu dari terlalu banyaknya tuntutan dari lingkungan sekitar, circle yang terlalu kompetitif, dan disadari atau tidak juga muncul dari media sosial. Terlalu banyak melihat kehidupan orang lain yang serba sempurna di medsos bisa membuat kita makin insecure dengan hidup sendiri.

Jika kamu mengalami fase ini, tidak usah takut karena apapun yang saat ini mengganggu pikiranmu adalah hal yang wajar. It's normal. Hidup ini memang penuh dengan masalah, bukan? cmiiw, mari mencoba meringankan kegundahan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian.

Tidak usah terlalu mencemaskan bagaimana hidup akan berjalan kedepannya. Apapun yang ada di depan sana, kamu pasti akan sampai.

Jangan meletakkan standar kebahagiaan kamu di pencapaian orang lain. It's a big No. Hanya karena melihat temanmu sudah sukses, lantas kamu merasa hidupmu gagal. Tidak! Kamu tidak gagal, setiap orang punya waktunya masing-masing. Mungkin waktumu belum sekarang, usaha aja dulu, rayu Tuhan sesering mungkin. Nanti juga dapat giliran. Tuhan Maha Adil, kan.

Berhenti mengeluhkan hal-hal yang sudah susah payah kamu capai. Itu adalah tanda kalau kamu kurang bersyukur. Jika sekarang kamu sudah bekerja dan merasa pekerjaanmu berat, hey sadar human! masih banyak orang di luar sana yang ingin berada di posisimu hanya demi slip gaji yang kamu anggap remeh di awal bulan.

Orang-orang dalam hidup kita ini akan datang dan pergi. Betapapun eratnya sebuah persahabatan, pada akhirnya pasti akan renggang, entah karena kesibukan masing-masing ataupun sudah memiliki teman hidup masing-masing. Bagaimanapun lekatnya kamu dengan orang tua, akan ada saatnya kamu harus ikhlas melepas mereka. Sesayang-sayangnya kamu sama pasanganmu saat ini, tidak menutup kemungkinan suatu saat kalian tidak lagi saling membersamai. Yuk belajar ikhlas. Sadari bahwa people come and go. Dan itu berada di luar kuasa kita.

Kurang-kurangi mendengarkan omongan orang yang toxic. orang-orang beracun di lingkungan kamu pasti akan selalu ada. Tidak usah dihiraukan, jangan hidup dalam ekspektasi orang lain. Biarkan mereka dengan dunianya. Kamu hanya perlu melakukan yang terbaik versi dirimu sendiri. Banyak-banyakin bergaul sama orang yang bawa positive vibes, biar nular.

Siapapun yang sedang mendampingimu saat ini, adalah orang yang kamu pilih dan memilihmu. Kamu tidak tahu berapa banyak yang mencoba menarik perhatiannya di belakangmu. Sudah cukup drama-drama yang dilebih-lebihkan. Hubungan yang kalian jalani seharusnya lebih teduh. Komunikasikan, saling pengertian. Kalau memang jalannya sudah buntu, mau gimana lagi. Btw, kamu yang sedang tidak didampingi siapa-siapa, sudah berapa banyak dm yang tak berbalas? Sabar, ya. Jangan kebanyakan cabang, diusia seperempat ini harusnya sudah pandai menjatuhkan pilihan.

Berhenti memikirkan bagaimana pandangan orang lain tentang kamu. Selama kamu berada di jalur yang benar, go ahead. Lanjutkan. Kamu ingin mengabadikan moment lewat instastory tapi takut dijulidin followers, don't worry. Posting apapun yang membuat kamu merasa bahagia tanpa harus dibayang-bayangi pandangan orang lain. Mereka juga belum tentu peduli. Bisa saja cuma di skip, kan.

Daripada overthinking, lebih baik mulai merencanakan pencapaian-pencapaian berikutnya. Persiapkan apa yang ingin kamu capai 5 tahun kedepan. Berusaha mencapai target itu semampumu. Libatkan orang-orang yang asik agar rasanya jadi lebih ringan. 

And the last but not least,

Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kamu sudah sampai sejauh ini itu artinya kamu hebat. Berapa kalipun kamu merasa putus asa, kalau kamu tidak berhenti berjuang untuk hidup, artinya kamu masih manusia. Dikuatin lagi bahunya, dibanyakin lagi sabarnya. Life isn't always easy, but you always can through it.

wtf ujung-ujungnya kata-kata motivasi, lagi. Sorry not to sorry.

Read More

Kamis, 25 Juni 2020

Limit

"Kalau capek, istirahat"

Dua tahun yang lalu, Aku menganggap kalimat itu tidak lebih dari sekedar basa-basi dari seorang laki-laki bermulut manis dan lumayan puitis. Aku sering membaca puisi-puisi dan tulisannya. Tapi, menurutku kalimatnya kali ini tidak cukup puitis. "Ah, mungkin ia sedang kehabisan topik" Pikirku. Kubalas seadanya. "Iya".
Pada dasarnya Aku memang kepala batu. Tidak satupun kata tentang istirahat yang kubiarkan terealisasi. Aku punya tujuan, Aku harus sampai disana. Istirahat hanya kata yang serumpun dengan malas. Sampai lelaki itu tidak lagi rutin berkabar, Aku masih tidak berminat untuk berkenalan dengan istirahat.
"Belum waktunya, tujuanku belum tercapai". Pikirku.

Aku berhasil meraih gelar dengan nilai yang lumayan manis. Setelah lulus, aku bersyukur bisa langsung mendapat kesempatan mengaplikasikan apa yang kudapat di bangku kuliah ke kehidupan nyata. Kesempatan yang tidak ingin Aku lewatkan.
Beberapa pencapaian telah ada di depan mata. Sudah sangat nyaman dengan suasana baru di tempat baru, sangat mendukung untuk mengembangkan diri karena wilayah kerja sesuai dengan gelar. Anehnya, Aku merasa ada yang tidak beres. Aku jadi lebih mudah bersin padahal sebelumnya tidak kehujanan, tidak minum es, ataupun berinteraksi dengan debu. Tiba-tiba terlalu mudah lelah bahkan ketika aktivitasku tidak lebih padat dari sebelumnya. Bahkan, gigitan nyamuk di lengan dan kaki terkesan berlebihan. Lebih merah dari biasanya dan tidak kunjung hilang. Demam setiap sore dan sembuh di siang hari lalu kembali demam di sore hari. Aku mulai kebingungan dengan suhu tubuhku sendiri. "Tahan, masih banyak yang perlu dicapai" lagi-lagi Aku memotivasi diri sendiri.

Beruntung, Aku punya waktu untuk pulang. Naluri Ibu memang selalu akurat. Tidak lama setelah sampai di rumah, tubuhku mulai menampakkan tanda-tanda menyerah. Seakan memintaku berhenti. Bukan istirahat, tapi berhenti. Diagnosis awal dokter membuat sekujur tubuhku membeku. Penyakit yang hanya kudengar dari sinetron itu, didiagnosis ada pada tubuhku. Saat itu juga, Aku pasrah.

Keberuntungan yang lain, setelah menjadi penghuni salah satu ruangan di rumah sakit, diberi kesempatan untuk menikmati fasilitas infus dan sajian obat-obatan, hasil tes darahku keluar. Diagnosis awal dokter ternyata keliru. Ya, namanya juga diagnosis awal. Wajar. Aku bersyukur tentu saja.
Sekaligus bingung. Terlalu bingung mengetahui vonis penyakit yang dikatakan dokter. Nama penyakit yang baru pertama kali kudengar. Bahkan, sampai hari ini Aku belum bisa menyebut nama penyakit itu dengan benar. Kalau ada teman yang bertanya Aku sakit apa, kutuliskan nama penyakit itu kemudian berkata "Penjelasannya ada di google" saking bingungnya. "Doakan lekas sembuh" Lanjutku.

Aku keluar dari rumah sakit dengan sedikit memaksa. "Aku ingin ikut wisuda". Mungkin karena iba atau Aku memang sudah bisa dibiarkan berkeliaran, dokter mengizinkan pulang dengan jaminan : Aku tidak boleh kelelahan, harus banyak-banyak istirahat, jangan stres. Aku wisuda dengan kedua tangan bengkak dan masih ada bekas infus disana.
Aku bersyukur tentu saja.

Setelah keluar dari rumah sakitpun, Aku harus rajin kontrol tiap minggu. Minum obat tiga kali sehari. Saking seringnya minum obat, Aku sudah bisa menikmati pahitnya. Ya, seperti pecandu kopi mungkin. Bedanya, Aku menikmatinya bukan dengan senja, tapi segelas air putih.

Setiap kali check up, kata istirahat selalu keluar dari mulut dokter. Sampai Aku hafal di bagian mana dari sesi check up tersebut kata istirahat itu diucapkan. Tidak hanya di mulut dokter, kata istirahat itu juga mulai menjadi ikrar yang diucapkan Ibu. Seperti janji siswa di upacara bendera muridku. Bedanya, Ibu mengucapkannya setiap kali melihatku. Bayangkan betapa kata istirahat itu sudah melekat dalam sanubariku.

Kata istirahat itu menghantuiku sampai enam bulan lamanya. Tidak ada aktifitas produktif yang bisa kulakukan selain rebahan dan menikmati pahitnya obat yang sudah tidak terasa pahit. Setidaknya Aku punya keahlian baru : minum beberapa obat dalam sekali telan. Apakah bisa disebut keahlian? Bisa, karena sebelumnya Aku amatir dalam hal obat-obatan.

Keahlianku berikutnya adalah merenung. Betapa selama ini Aku telah berbuat jahat pada tubuhku sendiri. Aku ingin memenuhi ambisiku, namun tidak memperhatikan tubuhku. Andai bisa bicara, mungkin tubuhku sudah menangis meraung-raung dan menyumpahiku. Selama ini, Aku tidak tahu bahwa tubuhku juga punya batas. Aku manusia biasa. Bukan spongebob.

Sekarang? Apakah semua mimpi dan tujuan yang membuatku memaksa tubuhku bekerja untuk mencapainya bisa kuraih? Jawabannya, Aku harus memendam dan merelakan beberapa tujuan tidak tercapai. "Andai Aku bisa lebih memperhatikan tubuhku, mampu menerima sinyal-sinyal menyerah dari tubuhku, dan mendengar lelaki bermulut manis itu, mungkin Aku masih bisa mencapai segalanya secara perlahan". Segala kalimat yang dimulai dengan andai biasanya hanya berupa penyesalan. Ya, dan Aku menyesal.

Apa kesimpulannya?
Selama kamu masih menyadari bahwa kamu manusia, kamu harus tahu batas. Batas dari tubuhmu. Betapapun sehatnya kamu, tubuhmu pasti punya batas. Bukan hanya fisikmu, pikiranmu juga. Kelelahan bukan cuma dialami fisikmu, isi kepalamu juga butuh istirahat. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Tujuanmu penting. Tapi, kesehatanmu jauh lebih penting. Tidak ada tujuan yang tercapai tanpa tubuh yang sehat.

"Kalau capek, istirahat"


Read More

Kamis, 21 Mei 2020

Expecto Patronum


“Jadi, bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya?”

Ahmad meletakkan cangkulnya, duduk bersandar pada sebatang pohon yang tidak terlihat keramat sama sekali. Masih memikirkan jawaban pertanyaan dari wanita di layar ponsel pintarnya.

“Makhluk hidup lainnya?”

“Ya. Selama ini kan kamu bertetangga dengan robot-robot kapitalis”

“Heh. Mulutmu Ratna!”

Ratna tertawa di atas tempat tidurnya, memutuskan bangkit untuk menyalakan lampu kamar agar wajahnya terlihat lebih cerah di layar.

“Kamu pernah lihat padi dari jarak dekat?” Ahmad diam sebentar, memperhatikan sebatang padi di genggamannya.

“Maksudku, Aku baru tahu tekstur padi seperti ini, wanginya semenenangkan ini”

“Kau tidak sedang melebih-lebihkan, bukan?”

“Selama ini Aku makan nasi dengan buas tanpa pernah tahu secara spesifik bagaimana bentuk kulitnya. Sekarang Aku bahkan baru saja menanam padi”

“Sebuah pencapaian!”

Ratna berteriak antusias. Ia meletakkan ponselnya untuk bertepuk tangan.

“Ya kan? Apa seharusnya Aku pindah jurusan saja, Na? Sepertinya Aku lebih cocok di jurusan pertanian dibanding Hubungan Internasional”

“Sepertinya lebih baik kita ganti topik, Kamu mulai terdengar aneh” Ratna memperhatikan pohon di belakang Ahmad. “Atau sepertinya kamu harus pindah tempat”

“Kamu yakin tidak ingin mudik?”
Ahmad menyalakan sebatang rokok yang hampir patah dari sakunya.

“Lalu dikarantina? Big No!”

“Come on, cuma 14 hari kok” Ahmad melepas topinya, rambutnya basah oleh keringat. “Lagipula tempat karantinaku kemarin free wifi”

“Kampungku bahkan tidak tersentuh jaringan 2G. Karantina dengan fasilitas tidak memadai sama dengan cari mati”

“Then, just doing self quarantine”

“Ahmad, dengar ya” Ratna bangun dan mengubah posisinya yang tadinya berbaring menjadi duduk rapi, terlihat serius. Ahmad menaikkan volume speakernya. “Setiap orang punya caranya masing-masing menghadapi pandemi ini untuk bertahan hidup. Dan caraku adalah dengan tidak kemana-mana”

Ahmad diam sebentar, lalu merasa gerah dan mengipas-ngipaskan topinya. Bersyukur cara yang dilakukan Ratna masih dalam kategori normal.

“Tadi adikku mengirim pesan, ia sedang berada di pasar. Aktivitas warga di kampungku tetap normal seperti tidak terjadi apa-apa”

Ratna mengacak rambutnya frustasi, memikirkan keluarganya yang sama apatisnya dengan warga lainnya. Ia kembali berbaring.

“Mereka juga sedang mencoba bertahan hidup”

Ahmad mengubah tampilan  kameranya menjadi kamera belakang, terlihat orang-orang dengan pakaian menutupi seluruh badan, celana panjang penuh lumpur dan baju partai. Beberapa pria memakai topi dan wanita mengenakan kerudung sebagai penutup kepala sekedar untuk melindungi diri dari sinar matahari dan kadang hujan. Semuanya terlihat bekerja keras dengan peluh yang membasahi punggung.

“Mereka lebih takut mati kelaparan”

Ratna menghela nafas. Senyum ceria yang ia tampilkan saat Ahmad mengangkat panggilan videonya tadi kini berubah murung.

“Sepertinya sekarang Aku yang ingin ganti topik” Ahmad menyadari perubahan mood Ratna yang menandakan bahaya.

“Kamu ingat mantra Harry saat melawan dementor?” Tanya Ratna.

Ahmad berpikir sejenak, mengingat kembali beberapa mantra yang ada dalam film kesukaan Ratna itu.

“Expecto Patronum?”

“Ya!” Ratna bangkit lagi dari pembaringannya. Kali ini ia duduk di kursi belajar. Mengambil sebuah buku. “Mantra itu menghasilkan patronus, satu-satunya makhluk yang bisa mengusir dementor. Kalau dari bahasa latin, Expecto artinya berharap, patronus artinya pelindung. Mantra itu artinya mengharapkan datangnya pelindung”

Ratna meletakkan bukunya, terlihat berpikir.

Ahmad mulai risau, biasanya jika Ratna mulai berpikir, segala hal absurd ada disana, di dalam kepalanya.

Kamu mau kan temani Aku ke masa depan kalau mesin waktu benar-benar ada?

Tahun depan setelah lulus, Aku ingin mencoba cara tercepat sampai ke bulan.

Ahmad, seharusnya sayap malaikat pernah rontok sesekali, kan?

Aku akan menjadi peracik parfum dengan aroma petrikor. Kamu harus jadi pembeli pertama!

“Ratna?”

“Aku akan mempelajari mantra semacam Experto Patronum. Tapi bukan untuk mengusir dementor. Aku ingin mengusir segala hal-hal buruk di dunia ini. Salah satunya pandemi ini. Menurutmu kuberi nama mantra apa jika sudah kutemukan?” Ratna bertanya sungguh-sungguh, tanpa sedikitpun ada niat bercanda.

Ahmad mengusap wajahnya frustasi. Wanita dua puluh satu tahun yang ia sebut sahabat itu tidak pernah berubah. Pikirannya adalah tanah lapang dengan beraneka macam buah tanpa bisa dipetik, tak bertuan dan tidak satupun yang boleh membatasinya untuk tumbuh. Satu-satunya hal yang membuat Ahmad bertahan untuk tetap mendengarkan isi kepala Ratna adalah karena tidak satupun yang ingin mendengarnya selain Ahmad. Meskipun itu seharusnya bukan sebuah alasan.

Ahmad mulai menyesal membahas tentang “mati kelaparan”. Ratna selalu peka dengan isu isu sosial. Bahkan terlalu peka hingga solusi yang ia tawarkan selalu tidak masuk akal.

“Sudah dulu ya, Ahmad. Aku akan mencoba membuat mantra!” Ratna mengarahkan telunjuknya ke udara "Avada Kedavra!"

Video call berakhir dengan Ahmad yang was-was dengan apa yang akan dilakukan Ratna.

Read More

Rabu, 01 April 2020

Teman Lama

Halo!
11hr11min


Apa kabar?

Rasanya seperti menyapa teman lama. Canggung.

Terakhir kali bercengkrama dengan blog usang ini dua tahun lalu, Agustus 2018.
Kira-kira, jika kamu berada di posisi yang kebetulan bertemu dengan teman lama di jalan, hal apa yang pertama kali kamu katakan? Beberapa orang mungkin akan berjabat tangan atau berpelukan erat, lalu setelahnya?. Pertanyaan saya bukan tentang interaksi fisik, melainkan kata-kata.

Apa kabar? Pertanyaan basa-basi yang selalu jadi peringkat teratas di awal obrolan. Jika Apa kabar adalah hal pertama yang kamu ucapkan, kamu tentu bisa menebak jawaban dari pertanyaanmu sendiri. Jika ia adalah teman lama yang tidak begitu akrab denganmu ia tentu akan menjawab dengan kabar baik. Jawaban yang sama akan kamu peroleh jika ia adalah teman lama yang kamu tempatkan dalam ruang kompetitor, teman yang selalu membuatmu ingin menjadi lebih baik dibandingkan dia, melihatnya berhasil dalam suatu hal menumbuhkan ambisi dalam dirimu untuk jauh lebh berhasil. Teman lama jenis kompetitor ini juga akan menjawab dengan kabar baik karena tidak ingin terlihat buruk di hadapanmu terlepas dari segala kabar buruk yang ia pendam. Lain halnya dengan teman lama yang cukup akrab denganmu, ia akan menjawab apa adanya. Mungkin pertemuan kebetulan itu akan berubah menjadi ajang curhat, mengeluh, bahkan tidak jarang menghasilkan temu-temu berkelanjutan.

Bertemu dengan teman lama akan memunculkan dilema. Topik apa yang sebaiknya dilontarkan untuk teman yang kabarnya hanya sebatas baik dan buruk ini? Menanyakan tentang pendidikan? Bagaimana jika ia gagal dalam ujian tahun ini dan belum menyelesaikan pendidikannya?. Tentang keluarga? Bagaimana jika keluarganya sedang berada dalam masalah atau baru saja berduka. Karir? Bagaimana jika sampai hari ini ia masih berjuang untuk lepas dari status pengangguran?. Hubungan asmara? Bagaimana jika ia baru saja putus dari kekasihnya dan patah hati?
Dilema dalam situasi bertemu dengan teman lama itu wajar, kok. Artinya, kamu masih manusia dan beruntungnya, kamu manusia yang berhati baik. Khawatir akan melukai perasaan teman lamamu adalah tanda hatimu baik. Lalu, bagaimana mengatasinya? Segala dilema itu sebenarnya berasal dan bermuara pada satu hal : kabar.

Iya, kabar.
Bagi orang-orang yang tersentuh atau bahkan didekap teknologi, kabar adalah hal yang ada dalam genggamannya setiap hari. Layar berbentuk persegi panjang yang setiap hari memancarkan radiasi itu berisi kabar-kabar. Kabar bukan lagi terbatas soal baik atau buruk. Melainkan meluas menjadi aktivitas yang dengan mudah disajikan dan disaksikan. Jangankan pendidikan, karir, atau hubungan asmara, kamu bahkan bisa melihat apa saja menu sarapan teman lamamu pagi ini. Saat melihat kabar teman lamamu lewat video boomerang dalam momen sarapan paginya, disana ada anak kecil dan seorang wanita yang tersenyum lebar. Artinya, keluarganya sedang dalam keadaan bahagia. Saat tidak sengaja bertemu dengannya di jalan, kamu bisa menanyakan berapa umur anaknya. Saat melihat kabar teman lamamu lewat foto wisuda yang ia bagikan di timeline, artinya ia berhasil menyelesaikan pendidikan. Saat tidak sengaja bertemu dengannya di jalan, kamu bisa menanyakan tentang jurusan pendidikannya. Saat melihat undangan digital dari akun teman lamamu yang berisi namanya dengan nama mantan kekasihmu, sebaiknya hindari bertemu dengannya di jalan. Wkwkwk. Bercanda, sayang. Kamu tentu bisa membahas betapa beruntungnya mereka dan mendoakan kebahagiaan mereka. Jika kamu cukup tabah untuk itu.

Lalu, bagaimana jika teman lamamu tidak cukup eksis di media sosial? Bagaimana jika ia hanya menjadi viewer story tanpa pernah berkabar? Kamu cukup membahas hal yang sedang viral belakangan ini. Mungkin tentang nilai tukar rupiah terhadap dollar atau omnibus law. Atau mungkin tentang Nia Ramadhani yang tidak tahu cara mengupas pisang. (why)

Bagaimana? Sudah tidak sabar ingin bertemu teman lama di jalan? Tahan dulu. Saya yakin bukan hanya dengan teman lama, tapi ada banyak pertemuan yang sangat ingin kamu segerakan. Tapi, kondisi jalan dan sudut-sudut keramaian saat ini sedang tidak memungkinkan untuk sebuah pertemuan. Tahan dulu.

Saat ini, kamu bisa menanyakan kabar teman lama lewat jemarimu tanpa berinteraksi fisik dengannya. Tanyakan keadaannya lalu saling berdoa agar kita saling bertahan di tengah kabar buruk ini.
Semoga kita lekas mendapat kabar baik.


Catatan penulis:
Jadi, Apa kabar?
Saya berharap bisa terus menyapa, pertemuan yang tidak kebetulan dan bukan di jalan ini, semoga menghasilkan temu-temu berkelanjutan. Saya akan menemuimu dalam tulisan. Maaf karena memberi jeda terlalu lama. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk segala kabar baik dan buruk. Semoga bisa berbagi suka dan duka dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Salam sayang.

Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Followers

Followers

Recent Posts

Recent Comments

Introduction

About

Pages

Blogger templates